Sonora.ID – Natal merupakan perayaan umat Kristiani yang diperingati setiap tanggal 25 Desember.
Pada momen tersebut, tidak sedikit umat agama lain yang turut bergembira dengan ingin mengucapkan selamat, termasuk umat Islam.
Masalahnya, bagaimana hukum mengucapkan selamat Natal dalam Islam? Boleh atau haram?
Melansir dari laman NU Online, ternyata ulama memiliki pendapat yang berbeda terkait hukum memberi ucapan selamat natal.
Ada ulama yang menganggap hukum memberi ucapan selamat natal haram dalam Islam, tapi ada juga ulama yang membolehkan asalkan dengan memperhatikan kalimat yang kita tulis dalam ucapan tersebut.
Perbedaan tersebut mengerucut kepada satu hal, apakah ucapan selamat Natal termasuk kategori akidah (keyakinan) atau muamalah (pergaulan)?
Baca Juga: Teks Khutbah Jumat: Manfaat Introspeksi Diri di Akhir Tahun!
Jika dikategorikan akidah, berarti ucapan itu merupakan doa dan kerelaan atas agama orang lain.
Bila dikategorikan muamalah, maka ucapan tersebut justru dianjurkan karena merupakan wujud toleransi yang dijunjung tinggi oleh Islam.
Lantas, apa hukum mengucapkan selamat natal dalam Islam? Masih dari sumber yang sama, NU Online, mari simak penjelasannya berikut ini.
Hukumnya Haram
Ulama yang mengharamkan (seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Syeikh Ibn Baz, Shalih al-Utsaimin, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, dan lain-lain) berlandaskan pada ayat:
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
Artinya: Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridlai kekafiran hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridlai kesyukuranmu. (QS. Az Zumar: 7).
Menurut golongan pertama ini, mengucapkan selamat Natal termasuk kategori rela terhadap kekufuran.
Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah SAW:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
Artinya: Bedakanlah dirimu dari orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis. (HR Al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar RA)
Juga hadits Nabi SAW:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya: Siapa yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka. (HR Abu Dawud dai Ibnu Umar RA).
Intinya, golongan pertama ini juga menganggap hari raya sebagai syiar agama. Mengucapkan selamat hari raya berarti mengakui “kebenaran” agama tersebut.
Padahal, menurut mereka, setiap umat memiliki hari besarnya masing-masing. Dan umat Kristiani menjadikan Natal sebagai hari besarnya. Sementara Islam sudah memiliki dua hari raya sendiri.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA: Ketika Nabi SAW tiba di Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bersenang-senang di dalamnya.
Lalu beliau bertanya: Dua hari apa ini? Mereka menjawab: Dua hari yang kami bermain-main di dalamnya pada masa Jahiliyah.
Maka Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan Idul Adha dan Idul Fitri. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Nabi SAW juga pernah bersabda kepada Abu Bakar RA: Hai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan inilah hari raya kita. (HR Bukhari).
Alasan lainnya adalah sadd al-dzarî’ah atau memutus akses menuju hal-hal yang dilarang. Mengucapkan selamat Natal merupakan “jalan” menuju hal-hal yang terlarang itu.
Hukumnya Boleh
Syeikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa mengucapkan selamat justru merupakan kebaikan (al-birr), sebagaimana firman Allah SWT:
لايَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS Al-Mumtahanah: 8).
Kebolehan memberikan ucapan selamat juga berlaku jika orang Kristen yang memberikan ucapan selamat kepada kita. Allah berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Artinya: Apabila kamu diberi penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah dengan penghormatan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (QS An-Nisa’: 86).
Musthafa Ahmad az-Zarqa’ menyatakan bahwa tidak ada dalil yang secara tegas melarang seorang Muslim mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir.
Beliau mengutip hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi.
Penghormatan ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang dianutnya.
Baca Juga: 20 Contoh Perilaku Akhlakul Karimah dalam Kehidupan Sehari-hari
Sehingga ucapan selamat kepada umat Kristiani tidak terkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan mereka, melainkan hanya bagian dari mujamalah (saling berbuat baik) dan muhasanah (sopan-santun) kepada teman yang berbeda agama.
Selain itu, sikap Islam terhadap penganut agama monotheis (Yahudi dan Kristen) jauh lebih lunak daripada kepada kaum Musyrikin penyembah berhala.
Bahkan al-Qur’an menghalalkan makanan serta wanita ahli kitab untuk dinikahi (Al-Maidah: 5).
Dan salah satu konsekuensi pernikahan adalah menjaga hubungan dengan pasangan, termasuk bertukar ucapan ‘selamat’.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, seorang Majusi mengucapkan salam kepada Ibnu Abbas: Assalamualaikum, dan Ibnu Abbas menjawab: Waalaikumussalam wa rahmatullah. Kemudian sebagian sahabatnya bertanya: Dan rahmat Allah? Ibnu Abbas menjawab: Bukankah mereka hidup itu merupakan bukti mendapat rahmat Allah SWT?
Intinya, ucapan selamat Natal adalah bagian dari masalah sosial (muamalah, non-ritual).
Dalam ushul fiqih disebutkan, semua tindakan non-ritual adalah dibolehkan, kecuali ada dalil yang melarang.
Dan menurut golongan kedua ini, tidak ada satu ayat Al Quran atau hadits pun yang secara eksplisit melarang mengucapkan selamat kepada orang non-muslim.
Ini merupakan pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Umamah, Ibnu Abbas, Al-Auza’i, An-Nakha’i, At-Thabari, dan lain-lain.
Pendapat Ulama Lain
Selain dua pandangan di atas, ada juga ulama yang tidak mengharamkan secara mutlak dan tidak membolehkan secara mutlak.
Pendapat ketiga ini memilah antara ucapan yang haram dan ucapan yang bisa ditolelir.
Golongan ketiga ini juga membedakan antara ucapan selamat Natal karena terpaksa, dengan yang tidak terpaksa.
Jika seorang Muslim berada di lingkungan mayoritas Nasrani, seperti di Ambon, Papua, atau negara-negara Eropa dan Amerika atau pegawai yang bekerja kepada orang Nasrani, siswa di sekolah Nasrani, pebisnis yang sangat tergantung dengan kolega Nasrani, maka boleh mengucapan selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya.
Ucapan selamat itu harus dibarengi unsur keterpaksaan dalam hati (inkar bil qalbi) serta diiringi istighfar.
Di antara kondisi terpaksa seperti pegawai muslim yang tidak mengucapkan Selamat Natal karirnya dihambat atau dikurangi hak-haknya.
Atau siswa muslim yang tidak memberikan ucapan Selamat Natal akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya.
Atau seorang muslim yang tinggal di daerah/negara non muslim jika tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada tetangga Nasrani akan mendapatkan tekanan sosial dan sebagainya. Pendapat ini berdasarkan kepada firman Allah SWT sebagai berikut:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang terpaksa, padahal hatinya tetap tenang keimanan. Akan tetapi orang yang menerima kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS Al-Nahl, 106).
Jika kondisi tidak memaksa dan tidak ada pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak, atau perlakuan orang-orang Nasrani sekelilingnya, maka tidak diperbolehkan baginya mengucapkan selamat Natal.
Jalan Terbaik
Pendapat ketiga ini lebih kuat karena menetapkan hukum sesuai dengan situasi dan kondisi.
Pertama, persoalan hukum yang bersifat ijtihadi (debatable dan tidak ada dalil secara langsung), maka keputusannya tidak boleh hitam dan putih, tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Ini merupakan prinsip ushul fiqih.
Kedua, dalam kaidah fiqih ditegaskan: Keluar dari kungkungan khilaf (perbedaan pendapat) merupakan anjuran syariat.
Artinya, jika kita berpegang pada pendapat yang mengharamkan saja, berarti kita menafikan pendapat yang menganjurkan, dan begitu sebaliknya.
Maka pendapat ketiga (yang mempertimbangkan sikon), adalah solusi agar kita keluar dari kungkungan khilaf tersebut. Wallahu a’lam.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News
Baca Juga: 10 Hadis dan Ayat Alquran Tentang Jodoh, Bikin Hati Tenang Soal Pasangan Hidup