Solo, Sonora.ID – BPOM kembali menegaskan komitmennya untuk selalu mengawal keamanan pangan dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat.
Untuk memastikan hal tersebut, BPOM terus mendorong kesadaran pelaku usaha dalam menerapkan cara peredaran pangan olahan yang baik (CPerPOB) maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Sebagaimana dilakukan di tahun-tahun sebelumnya, intensifikasi pengawasan (Inwas) ini difokuskan pada pangan olahan yang tidak memenuhi ketentuan (TMK), yaitu pangan tanpa izin edar (TIE)/ilegal, rusak, dan kedaluwarsa. Pengawasan ini telah berlangsung sejak 1 Desember 2023 dan masih akan berlangsung hingga 3 Januari 2024.
Hingga tahap III (per 21 Desember 2023) Inwas, BPOM telah memeriksa sebanyak 2.438 sarana peredaran pangan olahan di 34 provinsi, yang terdiri dari 1.123 sarana ritel modern, 833 sarana ritel tradisional, 444 gudang distributor, 23 gudang importir, dan 15 gudang e-commerce.
Dari sarana-sarana tersebut, BPOM berhasil menemukan 731 sarana (29,98%) yang menjual produk pangan olahan terkemas TMK, dengan jumlah total temuan sebanyak 4.441 item (86.034 pcs) pangan olahan TMK yang diperkirakan nilainya mencapai lebih dari Rp1,6 miliar.
Nilai temuan kali ini meningkat 140% dari tahun sebelumnya.
“Jenis temuan terbesar adalah pangan TIE, yaitu sebanyak 52,90% dengan nilai ekonomi lebih dari Rp1,3 miliar. Temuan didominasi oleh produk pangan impor, seperti bumbu siap pakai, makanan ringan (snack), pasta dan mi, serta kembang gula/permen yang nilainya mencapai lebih dari Rp770 juta,” papar Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala BPOM RI, L. Rizka Andalusia.
Pangan TIE impor tersebut, lanjut Plt. Kepala BPOM, banyak ditemukan di wilayah DKI Jakarta serta di wilayah perbatasan negara, seperti Tarakan (Kalimantan Utara), Batam, Pekanbaru, dan Sanggau (Kalimantan Barat).
Hal ini menunjukkan masih adanya jalur-jalur perdagangan ilegal yang memerlukan pengawasan lintas sektor yang lebih intensif.
Temuan selanjutnya adalah jenis pangan olahan kedaluwarsa, yaitu sebanyak 41,41%, yang banyak ditemukan di wilayah Kabupaten Belu dan Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur/NTT), Sofifi dan Morotai (Maluku Utara), serta Ambon.
“Jenis pangan kedaluwarsa yang ditemukan didominasi pangan olahan jenis biskuit, makanan ringan, pasta dan mi, bumbu siap pakai, serta wafer dengan nilai ekonomi lebih dari Rp253 juta. Temuan ini menurun sebesar 3,66% dari tahun lalu,” lanjut Plt. Kepala BPOM.
Sementara untuk temuan jenis pangan rusak, 5,69% banyak ditemukan di wilayah Kabupaten Belu (NTT), Manokwari, Pangkal Pinang, Ambon, dan Kendari.
Jenis temuan pangan rusak didominasi produk susu UHT/steril, krimer kental manis, tepung bumbu, biskuit, dan ikan dalam kaleng dengan nilai ekonomi mencapai Rp44 juta. Angka temuan ini turun sebesar 9% dari tahun lalu.
Baca Juga: Mau Beli Rumah Bebas PPN, Begini Kriteria dan Penjelasannya!
Pangan olahan rusak dan kedaluwarsa banyak ditemukan di wilayah Indonesia Timur yang mungkin disebabkan oleh faktor panjangnya rantai distribusi pangan di wilayah tersebut.
Hal ini menyebabkan tingginya potensi pangan menjadi rusak dan kedaluwarsa karena perjalanan dalam waktu lama, selain juga sistem penyimpanan di gudang yang tidak memenuhi ketentuan.
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM (Deputi 3), Rita Endang, melanjutkan penjelasan mengenai temuan Inwas tahun ini.
Termasuk pangan olahan TIE hasil Inwas yang dilakukan oleh 76 unit pelaksana teknis (UPT) BPOM di seluruh Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut, tim UPT BPOM ikut bergabung secara online (daring) dan menjelaskan hasil temuan Inwas di wilayahnya.
Menindaklanjuti temuan produk pangan olahan TMK dari Inwas ini, BPOM mengedepankan upaya pembinaan kepada para pelaku usaha melalui pemberian bimbingan dan fasilitasi kepada pelaku usaha untuk dapat mendaftarkan produk pangan olahannya.
BPOM juga melakukan langkah-langkah penanganan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran, termasuk melakukan pembinaan dan memberikan peringatan kepada pelaku usaha di sarana peredaran, memerintahkan distributor untuk melakukan retur/pengembalian produk kepada supplier produk TIE, dan memerintahkan pemusnahan terhadap produk yang rusak dan kedaluwarsa, serta pengamanan terhadap produk TIE.
Selain pengawasan fisik, BPOM juga menggencarkan pengawasan terhadap pangan olahan yang beredar melalui penjualan online, yaitu melalui patroli siber di marketplace.
Hasil patroli siber pada Inwas tahun ini menemukan 17.042 tautan yang mengedarkan pangan olahan TMK dengan nilai ekonomi sebesar Rp30 miliar.
Terkait hal ini, BPOM berkoordinasi dengan Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) untuk melakukan penurunan konten (takedown) terhadap tautan yang teridentifikasi menjual produk TIE.
Plt. Kepala BPOM juga berpesan kepada masyarakat untuk selalu menerapkan “Cek KLIK” (Cek Kemasan, Label, Izin Edar, dan Kedaluwarsa) sebelum membeli atau mengonsumsi produk pangan olahan.
“Masyarakat agar lebih teliti memilih produk dengan membaca dan memahami informasi nilai gizi (ING) pada label pangan, sehingga dapat memilih dan mengonsumsi pangan secara seimbang. Manfaatkan juga aplikasi BPOM Mobile untuk memudahkan dalam memperoleh berita terbaru dari BPOM dan mengecek legalitas suatu produk,” tutup Plt. Kepala BPOM.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News
Baca Juga: BPOM Surakarta Bentuk Satuan Karya Pengawasan Obat dan Makanan