"Besok Ibu mau berjualan di pasar kaget Lembang. Biasanya hari Minggu suka ramai pengunjung," kata Ibu.
"Kalau Kinan mau ikut, tidurnya jangan terlalu malam."
"Wah, Kinan pasti ikut, Bu."
Tentu yang ada di pikiranku adalah jalan-jalan menyenangkan ke pasar kaget pada hari Minggu. Seperti dulu waktu Ayah masih ada. Seperti bila Nenek datang berkunjung.
Tapi, perjalanan ke pasar kaget kali ini tidak seperti dulu. Subuh-subuh Ibu sudah membangunkanku. Setelah shalat subuh, kami berdoa semoga payung-payung itu laku. Setelah itu kami sarapan nasi goreng, lalu berangkat dengan membawa 2 tas besar berisi payung-payung.
Tentu saja tidak ringan membawa 2 tas besar berisi payung-payung. Ibu menggendong tas yang satu dengan badan sedikit membungkuk karena berat. Aku sendiri tidak mampu mengangkat tas sendirian. Jadi, ibu menggendong satu tas di pundaknya, dan tangan kanannya membantuku menggotong tas yang satu lagi.
Mencari tempat berjualan di pasar kaget ternyata tidak gampang. Tempat-tempat yang nyaman untuk berjualan sudah ada pemiliknya. Akhirnya Ibu mendapatkan tempat di ujung pasar, dekat lapangan bola. Udara masih dingin, matahari baru tampak semburat merah, tapi kami sudah berkeringat.
Payung-payung pun dipajang. Sebagian dibuka. Semakin siang pengunjung semakin banyak. Tapi sampai pasar kaget ditinggalkan pengunjung, tidak ada satu payung pun yang terjual. Setelah Ibu membeli semangkuk bakso dan kami makan perbekalan nasi, Ibu mengajak pulang.
Sampai di rumah, hari sudah siang. Meski saat ini awal musim hujan, biasanya dari pagi sampai tengah hari udara masih cerah. Aku ke dapur mengambil air putih. Saat masuk lagi ke dalam rumah, aku melihat Ibu menangis.
"Kenapa, Bu?" tanyaku sambil menatap Ibu tidak mengerti. Ibu memeluk aku erat sekali.
"Maafkan Ibu, membawamu ikut susah." Kata Ibu disela isaknya. "Payung-payung ini impian Ibu. Ibu bermimpi bisa membiayai hidup kita, bisa menyekolahkanmu setinggi mungkin. Tapi ternyata tidak gampang berjualan payung."
Karena hujan semakin sering, Ibu memberi aku sebuah payung.
"Bu, boleh kalau payung ini Kinan gambari?" tanyaku. "Sudah lama Kinan bermimpi punya payung yang ada cerita bergambarnya."
"Boleh saja, payung itu sudah jadi milik Kinan."
Aku pun menggambari payung dengan cerita bergambar lucu. Siapa sangka, dua hari kemudian ada 3 orang teman yang mau membeli payung, asal digambari seperti payungku. Ibu menyambut gembira kabar itu. Dia segera sibuk membuat sketsa gambar. Aku membantu mewarnainya.
Oh iya, Ibuku itu pintar menggambar. Sekolahnya dulu adalah Fakultas Seni Rupa Universitas Pendidikan Indonesia. Pernah juga Ibu bekerja selama satu tahun di galeri lukisan. Tapi, setelah menikah Ibu berhenti bekerja. Ibu kemudian mengajari aku menggambar sejak aku usia 2 tahun.
Sejak itu, payung yang digambari cergam lucu semakin banyak yang memesan. Teman-temanku berfoto selfie dengan payung-payung itu di internet. Akibatnya, payung di toko semakin laku. Dan pemesanan lewat internet membuat kami semakin sibuk.
"Kita namai saja warung kita itu payung-payung impian," kata Ibu suatu waktu.
Aku mengacungkan jempol. Lalu kami berpelukan. Kami bersyukur, warung Payung-payung Impian sekarang sudah banyak pelanggannya.
2. Kado Terbaik
Karya: Asri S