Sonora.ID - Dalam artikel kali ini, kamu akan mendapatkan pembahasan lengkap terkait 4 contoh cerpen tentang ibu.
Cerita pendek atau cerpen menjadi salah satu karya sastra yang sangat cocok untuk dibaca dalam mengisi waktu luang.
Ada banyak tema yang dapat diangkat dalam karya sastra ini, salah satunya adalah cerpen tentang ibu yang inspiratif dan menyentuh hati.
Dengan membaca cerpen bertemakan tersebut, kamu dapat lebih menyayangi sosok ibu yang sudah berkorban banyak dalam kehidupanmu.
Berikut Sonora ID bagikan 4 contoh cerpen tentang ibu yang sudah dirangkum dari berbagai sumber.
1. Payung-payung Impian
Karya: Hadi Pranoto
Baca Juga: 10 Cerpen Hari Guru yang Singkat Namun Menarik dan Inspiratif!
Ibu adalah pedagang payung. Bangunan kecil dibuat di halaman rumah. Itulah warung Ibu. Di depannya dipasang spanduk bertuliskan "Payung-payung Impian". Itulah nama warung payung Ibu.
Payung warna-warni bergantungan di sekeliling tembok warung. Ada juga payung yang dibuka. Calon pembeli biasanya bergaya memakai payung sambil bercermin. Ibu memang memasang cermin besar di dinding.
Pulang sekolah, aku sering menemani Ibu menjaga warung payung.
"Bu, kenapa warung kita dinamai Payung-payung Impian?" tanyaku suatu hari.
"Kan, itu ide dari Kinan sendiri," jawab Ibu.
Aku tersenyum mengingat pengalaman setahun lalu.
Sudah 2 tahun Ibu membuka warung payung. Awalnya karena Ayah meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Beberapa bulan setelah bersedih terus, Ibu memutuskan untuk membuka warung payung.
Payung berbagai ukuran, berbagai corak dan warna, dikirim dari pengrajin payung kenalan Ibu. Setiap hari Ibu membuka warung dari pukul 8 pagi sampai pukul 5 sore. Walau tidak ada pengunjung, Ibu selalu membuka warungnya. Aku sering bersedih bila sampai siang saat aku pulang sekolah belum ada seorang pun calon pembeli yang datang.
Karenanya, setelah pulang sekolah aku sering menemani Ibu menunggui warung. Sebenarnya sejak naik ke kelas 5 SD, aku semakin sibuk. Ekstrakulikuler menggambar yang aku ikuti sejak kelas 2 membuatku semakin rajin ke sekolah. Ya, karena saat pemilihan ketua sebulan yang lalu, aku terpilih menjadi wakil ketua. Aku dan Nina yang menjadi ketua diminta Bu Erum untuk melatih anak-anak baru dalam menggambar sketsa.
"Kalau kamu ada kegiatan di sekolah, tidak usah menemani Ibu." Ibu selalu berkata begitu bila melihat aku ragu-ragu untuk pamit ke sekolah lagi.
"Tapi Kinan kasihan Ibu harus bengong sendirian menunggui payung."
"Tidak apa. Ibu harus belajar lebih bersabar."
Suatu malam Ibu masuk ke kamarku. Buku yang sedang aku baca disimpan di kasur. Pikirku, ini tidak biasa. Kalau Ibu menemani aku tidur, biasanya Ibu masuk setelah aku tertidur. Bukan saat membaca seperti ini. Selepas makan malam Ibu biasanya menjahit kain untuk payung dan memasangkannya ke rangka payung. Ya, selain berjualan, Ibu juga belajar membuat payung sendiri.
"Besok Ibu mau berjualan di pasar kaget Lembang. Biasanya hari Minggu suka ramai pengunjung," kata Ibu.
"Kalau Kinan mau ikut, tidurnya jangan terlalu malam."
"Wah, Kinan pasti ikut, Bu."
Tentu yang ada di pikiranku adalah jalan-jalan menyenangkan ke pasar kaget pada hari Minggu. Seperti dulu waktu Ayah masih ada. Seperti bila Nenek datang berkunjung.
Tapi, perjalanan ke pasar kaget kali ini tidak seperti dulu. Subuh-subuh Ibu sudah membangunkanku. Setelah shalat subuh, kami berdoa semoga payung-payung itu laku. Setelah itu kami sarapan nasi goreng, lalu berangkat dengan membawa 2 tas besar berisi payung-payung.
Tentu saja tidak ringan membawa 2 tas besar berisi payung-payung. Ibu menggendong tas yang satu dengan badan sedikit membungkuk karena berat. Aku sendiri tidak mampu mengangkat tas sendirian. Jadi, ibu menggendong satu tas di pundaknya, dan tangan kanannya membantuku menggotong tas yang satu lagi.
Mencari tempat berjualan di pasar kaget ternyata tidak gampang. Tempat-tempat yang nyaman untuk berjualan sudah ada pemiliknya. Akhirnya Ibu mendapatkan tempat di ujung pasar, dekat lapangan bola. Udara masih dingin, matahari baru tampak semburat merah, tapi kami sudah berkeringat.
Payung-payung pun dipajang. Sebagian dibuka. Semakin siang pengunjung semakin banyak. Tapi sampai pasar kaget ditinggalkan pengunjung, tidak ada satu payung pun yang terjual. Setelah Ibu membeli semangkuk bakso dan kami makan perbekalan nasi, Ibu mengajak pulang.
Sampai di rumah, hari sudah siang. Meski saat ini awal musim hujan, biasanya dari pagi sampai tengah hari udara masih cerah. Aku ke dapur mengambil air putih. Saat masuk lagi ke dalam rumah, aku melihat Ibu menangis.
"Kenapa, Bu?" tanyaku sambil menatap Ibu tidak mengerti. Ibu memeluk aku erat sekali.
"Maafkan Ibu, membawamu ikut susah." Kata Ibu disela isaknya. "Payung-payung ini impian Ibu. Ibu bermimpi bisa membiayai hidup kita, bisa menyekolahkanmu setinggi mungkin. Tapi ternyata tidak gampang berjualan payung."
Karena hujan semakin sering, Ibu memberi aku sebuah payung.
"Bu, boleh kalau payung ini Kinan gambari?" tanyaku. "Sudah lama Kinan bermimpi punya payung yang ada cerita bergambarnya."
"Boleh saja, payung itu sudah jadi milik Kinan."
Aku pun menggambari payung dengan cerita bergambar lucu. Siapa sangka, dua hari kemudian ada 3 orang teman yang mau membeli payung, asal digambari seperti payungku. Ibu menyambut gembira kabar itu. Dia segera sibuk membuat sketsa gambar. Aku membantu mewarnainya.
Oh iya, Ibuku itu pintar menggambar. Sekolahnya dulu adalah Fakultas Seni Rupa Universitas Pendidikan Indonesia. Pernah juga Ibu bekerja selama satu tahun di galeri lukisan. Tapi, setelah menikah Ibu berhenti bekerja. Ibu kemudian mengajari aku menggambar sejak aku usia 2 tahun.
Sejak itu, payung yang digambari cergam lucu semakin banyak yang memesan. Teman-temanku berfoto selfie dengan payung-payung itu di internet. Akibatnya, payung di toko semakin laku. Dan pemesanan lewat internet membuat kami semakin sibuk.
"Kita namai saja warung kita itu payung-payung impian," kata Ibu suatu waktu.
Aku mengacungkan jempol. Lalu kami berpelukan. Kami bersyukur, warung Payung-payung Impian sekarang sudah banyak pelanggannya.
2. Kado Terbaik
Karya: Asri S
Ruri berjalan gontai menuju rumahnya. Dia baru berpapasan dengan Zahira yang membawa kue mini untuk Ibunya. Kue itu memang cantik, dengan gambar Ibu dan anak kartun dari whipping cream merah muda.
Akan tetapi, Ruri sempat menguping saat Zahira berkata harga kue itu lebih dari uang saku miliknya, bahkan setara saat dia mengumpulkannya selama sebulan.
Dengan begitu, Ruri mengerti dia tidak bisa memberikan kue cantik untuk ibunya. Bocah kelas 4 SD itu lalu menimang-nimang untuk memberi hadiah hari Ibu pada bulan berikutnya.
Namun, Ruri benar-benar tidak tahu apakah bulan depan dia tetap layak merayakan hari Ibu. Pasalnya menurut paparan gurunya Hari Ibu datang setahun sekali. Lantas, apakah Ruri pantas untuk menunda-nunda perayaan hari Istimewa tersebut?
Tanpa disangka kaki kecilnya telah sampai di teras. Kemudian pemilik rambut keriting itu mengintip seseorang dari lubang di bilik bambu rumahnya. Tampaknya neneknya masih tidur sehingga Ruri tidak perlu repot-repot menyiapkan makan siang.
Kemudian Ruri cepat-cepat berlari ke halaman belakang, lalu melewati jalan setapak hingga menemukan sungai yang keruh. Di sana ada jembatan sempit yang dinding-dindingnya tampak ditumbuhi oleh lumut.
Kaki kecilnya lantas terus melangkah dengan antusias hingga menemukan pusara ibunya di antara ratusan pusara warga Desa.
"Kata Bu Guru hari ini adalah hari Ibu. Selamat hari Ibu ya ibuku tersayang," katanya sambil mencium pucuk pusara ibunya.
"Aku ingin membeli kue cantik, Bu. Aku akan memberikannya untuk nenek bulan depan. Sedangkan ibu akan mendapat Alfatihah istimewa dariku hari ini," tambahnya.
Setelah itu, Ruri kembali ke rumah untuk merawat neneknya.
3. Rindu Ibu
Tak jarang aku dibuat iri dan kesal karena ibu jarang ada di sisiku. Sementara teman-temanku yang lain mereka mendapat kasih sayang seorang ibu setiap harinya.
Ayah hanya mengatakan hal yang sama berulang: ‘sabar sayang, ibu bukan tak sayang kamu, tapi ia harus bekerja dulu, sabar…”
Ya, ibuku bekerja sebagai TKW di luar negeri, tepatnya Singapura. Alih-alih mengurus anaknya sendiri, Ibu mengurus anak orang lain di sana.
Hari silih berganti waktu terus berputar, tak terasa aku belum melihat ibu secara langsung selama tiga tahun.
Selama itu aku hanya menghubunginya via video call. Akhir-akhir ini pun aku sering acuh jika jika VC dengannya.
Aku tampak marah karena memang kesal. Kesal karena rindu ibu.
Tampak terlihat jelas kalau ibu pun kecewa, ia tahu anaknya marah karena selalu diminta pulang, tapi tak bisa.
“Ibu di sini karena kamu, sabar nak tinggal beberapa bulan lagi ibu pulang,” kalimat yang sering ibu ungkapkan ketika aku menagih pulang dirinya.
Di sekolah rasa kesalku terkadang belanjut sehingga membuat aku malas untuk belajar.
Beruntung, teman-temanku sering mengajak aku bermain, setidaknya rasa rindu bercampur kesal kepada ibu sedikit hilang.
Pada suatu hari, ada seorang siswa baru bernama Ani.
Ia datang dari kampung yang jauh untuk pindah ke kota. Lantaran ayahnya kini bekerja di sini.
Kebetulan Ani memilih kursi di dekat aku. Aku pun menyapanya dan berkenalan.
Ani terlihat sebagai anak yang baik dan lembut. Namun, saat diajak main sepulang sekolah, ia selalu menolaknya.
“Aku mau bantu ayah bekerja,” jawab Ani setiap diajak bermain.
Di satu pagi dengan kekesalan yang sama—dan rindu yang sama—aku datang ke sekolah dengan wajah muram.
Ani yang melihatnya pun penasaran. “Kamu kenapa Debi? Ko cemberut?”
“Kesal sama ibu,” jawabku singkat.
Ani tambah penasaran. “Kenapa kesal?”
Aku jawab rasa kekesalanku dan alasan ibu bekerja di luar negeri.
Ani tersenyum mendengarnya dan terlihat ‘lega’.
“Ani, kenapa kamu malah tersenyum? Bukankah kamu akan kesal jika mengalami hal serupa seperti aku?” tanyaku.
Gadis baik ini menjawab singkat.
“Kamu beruntung,” jawab Ani. Aku tambah kesal. “Kenapa bisa disebut beruntung?”
“Kamu beruntung karena masih punya ibu,” jawab Ani. Aku sedikit kaget.
“Ibuku meninggal beberapa bulan lalu karena kecelakaan. Pindah ke sini karena bapak ingin melupakan momen bersama ibu dan bekerja sebagai pedagang keliling karena di kampung bisnis bapak hancur karena ia terus ingat dengan ibu.”
“Aku dengan ayah sama, perasaanku sama, aku rindu dan hancur tanpa ibu. Berat meninggalkan kampung halaman yang di mana aku besar dengan ibu di sana.”
“Tetapi hidup terus berjalan dan bapak perlu bekerja.”
Aku hanya terdiam mendengar cerita Ani.
“Debi, maaf kalau aku lancang dan mungkin seperti sok tahu. Tapi ingatlah, ibumu masih ada walau berjarak jauh. Kasih sayangnya membuat ibu harus pergi jauh. Tak apa, ibumu pasti pulang. Rindu yang akan terbalaskan meski masih lama itu kangen yang menyenangkan.”
“Sementara aku, kangen ‘ku tak akan terbalas. Rasa kangenku sulit disembuhkan.”
Setelah perbincangan hangat itu hidupku berbalik. Melihat sudut pandang lain dan membuat aku mencoba mengerti posisi ibu.
Kini, tak ada kesal karena rindu. Namun aku memilih menunggu dengan bahagia karena kangen ibu.
Baca Juga: 25 Contoh Soal Cerpen Pilihan Ganda Beserta Jawabannya Kelas 11
4. Ibu Pahlawanku
Di sebuah desa kecil, hiduplah seorang ibu bernama Marni. Marni adalah seorang janda yang membesarkan dua orang anaknya, Andi dan Anisa, seorang diri.
Suami Marni meninggal dunia ketika Andi masih berusia 5 tahun dan Anisa masih berusia 3 tahun.
Marni bekerja keras untuk menghidupi kedua anaknya. Ia bekerja sebagai petani dan buruh tani. Setiap hari, Marni harus bangun pagi-pagi untuk berangkat ke sawah. Ia bekerja sampai sore hari, bahkan terkadang sampai malam.
Marni juga harus mengurus rumah tangganya. Ia memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Ia juga harus mengurus kedua anaknya. Marni harus memastikan bahwa Andi dan Anisa makan, mandi, dan belajar dengan baik.
Marni seperti ibu lain di desa-desa kecil, ia adalah seorang ibu yang tangguh.
Ia tidak pernah mengeluh tentang kesulitan yang dihadapinya. Ia selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya, Andi dan Anisa.
Andi dan Anisa tumbuh menjadi anak yang baik. Mereka selalu menghormati dan menyayangi ibu mereka. Andi dan Anisa tahu bahwa ibu mereka telah berjuang keras untuk mereka.
Suatu hari, Andi dan Anisa sedang bermain di sawah. Mereka melihat ibu mereka sedang bekerja. Andi dan Anisa menghampiri ibu mereka.
“Ibu,” kata Andi. “Ibu sudah bekerja keras. Istirahatlah sebentar.”
“Tidak apa-apa,” kata Marni. “Ibu masih kuat.”
“Tapi ibu sudah tua,” kata Anisa. “Ibu harus istirahat.”
Marni tersenyum. “Ibu tahu,” katanya. “Tapi ibu ingin membuat kalian bahagia. Ibu ingin kalian bisa sekolah dan meraih cita-cita kalian.”
Andi dan Anisa memeluk ibu mereka. Mereka menangis tersedu-sedu.
“Ibu, kami mencintaimu,” kata Andi.
“Kami akan selalu menyayangimu,” kata Anisa.
Marni memeluk kedua anaknya dengan erat. Ia merasa sangat bahagia. Ia tahu bahwa perjuangannya selama ini tidak sia-sia.
Meski di tengah banyak kesulitan, Mari mampu membesarkan kedua anaknya dengan baik.
Selama berpuluh tahun dengan berpeluh keringat dan air mata, Marni berhasil membantu kedua anaknya untuk meraih cita-citanya.
Andi dan Anisa tumbuh dewasa dan sukses. Andi menjadi seorang dokter dan Anisa menjadi seorang guru. Mereka selalu bersyukur kepada ibu mereka atas segala perjuangan yang telah dilakukannya.
Kelak, Andi dan Anisa akan menjadi tulang punggung bagi Marni yang kini mulai berusia senja.
Baca berita update lainnya dari Sonora.ID di Google News.