Karena krisis keluarga pamannya, pada 1820, Raden Saleh kecil yang berusia 9 tahun diserahkan ke seorang Belanda, Van Der Capellen.
Lalu menjadi anak angkat pelukis alam dan lanskap Hindia-Belanda berdarah Belgia yang bekerja untuk Belanda, Antoine Auguste Joseph Payen.
Payen lah yang mengajari Saleh melukis dan mendukung atribut gaya romantismenya di kemudian hari.
Pada 1825, Payen kembali ke Eropa meninggalkan Saleh kepada Jean Baptiste de Linge di Batavia. Sementara di Jawa pada tahun yang sama, Perang Jawa pecah pada 20 Juli.
Paman Saleh dan anaknya, Raden Mas Saleh ditangkap pada September karena membelot.
Kebebasan keduanya pada Maret 1826 disusul kepergian sang sulung, Raden Mas Sukur yang bergabung pasukan Diponegoro. Pada November, sang paman pun wafat.
Sepak terjang Raden Saleh di Eropa
Menurut catatan Bachtiar, Raden Saleh pergi ke Belanda pada 1829 bersama de Linge untuk mengembangkan bakat lukisnya.
Biaya perjalanan Saleh didukung perkumpulan ekslusif filantropi pamannya, Javaansch Weldading Genootschap.
Baca Juga: 17 Pesan Perjuangan Pahlawan Nasional Untuk Upacara Hari Pahlawan 2023 Resmi dari Kemensos RI
Namun, sebagian besar hidupnya dalam dasawarsa 1829-1839 ditanggung Belanda.
Dalam kunjungannya ke Belanda, Raden Saleh menjalin hubungan dekat dengan Raja Willem II, yang memberinya gelar kebangsawanan Ksatria Orde Tahta Pohon Oak pada Desember 1844.
Pada 1849, Raja Willem III, anak Willem II juga menobatkan Saleh sebagai “Pelukis Sang Raja”.
Selain ke Belanda, Raden Saleh juga berkeliling Eropa untuk mempelajari karya maestro-maestro seni lukis di Austria, Belgia, Jerman, Italia, dan Prancis, sekaligus berjejaring.
Menurut catatan Onghokham, kehidupan glamornya di Paris menciptakan citra Saleh sebagai seorang pelukis terkenal, bahkan Raden Saleh banyak menghadiri acara-acara eksklusif dan memiliki studio lukis yang terbilang megah.
Pertanyaan tentang nasionalisme Raden Saleh
Munculnya pertanyaan tentang nasionalisme Raden Saleh mengemuka ketika melihat lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro."
Bachtiar, penulis biografi Saleh, justru menyatakan bahwa Saleh sebenarnya bukanlah seorang nasionalis, melainkan seorang loyalis Kerajaan Belanda karena pada dasarnya lukisan tersebut dipersembahkan pada Raja Willem III sebagai ungkapan terima kasih atas pendidikan dan pelatihan yang diterimanya selama hampir 23 tahun di Eropa.
Bachtiar menyimpulkan hubungan ini layaknya hubungan antara bawahan dan rajanya, bukan ajang pentas menampilkan perlawanan.
Baca Juga: Amanat Menteri Sosial untuk Upacara Hari Pahlawan 10 November 2023
Romantisme yang membelokkan fakta sejarah
Gaya lukis romantisme Raden Saleh nyatanya merupakan distorsi dari realitas untuk menonjolkan emosi dan meromantisasi peristiwa.
Istilah "Mooi Indie," dalam tulisan Onghokham tentang Raden Saleh merujuk pada cara Saleh menggambarkan keindahan alam Hindia-Belanda seperti yang selalu dilihat oleh para kolonialis, representasi surga indah untuk menutupi penindasan pada rakyat yang dilakukan kolonial.
Dalam lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro," terlihat pemilihan suasana pagi di kaki Gunung Sumbing berbeda dari kenyataan peristiwa penangkapan yang nyatanya terjadi pada pukul 10 pagi.
Emosi Pangeran Diponegoro juga disajikan tidak sesuai dengan fakta sejarah. Menurut Bachtiar, hal ini mengalihkan fakta sejarah yang seharusnya menjadi pedoman untuk memahami lebih jelas peristiwa penangkapan Diponegoro.
Keterlibatan diam-diam Raden Saleh
Rupanya ada beberapa kejadian dalam hidup Saleh yang menunjukkan kemungkinan bahwa Saleh ternyata memiliki hubungan yang lebih hangat terhadap Diponegoro daripada yang diungkap Bachtiar.
Menurut catatan Peter Carey, terdapat insiden laporan pers Prancis pada Januari 1848 yang menceritakan kondisi sempit penahanan Diponegoro dalam pengasingan di sebuah benteng kecil di Maluku.
Merespon itu, Baud, Menteri Koloni Belanda memerintah duta besarnya di Paris untuk membantah tuduhan tersebut, bahwa Diponegoro tidak lagi ditahan di Maluku, apalagi di benteng kecil Rotterdam di Makassar.
Mengingat ketatnya pengamanan Diponegoro di pengasingan, apalagi tentang pemindahannya dari Manado ke Makassar, satu-satunya “aktor” yang menampilkan diri adalah Raden Saleh.
Dia telah menghabiskan tiga tahun hidupnya di Paris dan tidak diragukan telah memiliki kontak dengan dunia jurnalisme Prancis.
Baca Juga: 3 Doa Ziarah Hari Pahlawan 10 November 2023 Resmi dari Kemensos RI
Tafsir nasionalisme lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro"
Lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” milik Saleh memang ditujukan sebagai persembahan untuk Willem III.
Topik yang menarik perhatian Saleh untuk dilukis dalam persembahannya itu adalah Perang Jawa.
Lukisan Pieneman berjudul “Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock” sempat dilihat Saleh pada kunjungannya ke Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda sebelumnya.
Dalam lukisan itu, kesedihan dan kepasrahan raut wajah Diponegoro yang murung, tergambar dengan dirinya yang diposisikan lebih rendah dari de Kock dengan center-point lukisannya mengarah pada De Kock.
Kemudian pasukan Diponegoro digambarkan membawa senjata, dan tangan Diponegoro digambarkan membuka sebagai tanda menyerah.
Dalam versi Saleh, Diponegoro dijadikan center-point, membusungkan dada dan mendongakkan kepala sejajar dengan De Kock dan latar fajar penanda hari baru, walau postur penuh tekad dan menantang itu tidak sesuai dengan emosi sang pangeran pada saat penangkapan.
Tangan kiri Diponegoro digambarkan menggenggam, menunjukkan kekuatan, sedangkan tangan kanannya mengelus wanita yang sedang tunduk menangis di kakinya, menunjukkan bentuk kasih sayang.
Perwira Belanda digambarkan dengan kepala yang lebih besar, sedang orang-orang pribumi proporsional.
Satu hal yang sangat jelas, tak ada bendera Belanda di atas atap gedung seperti milik Pieneman.
Saleh pun memasukkan dua sosok dirinya ke dalam lukisan itu. Pertama berdiri membungkuk dan bersikap hormat di hadapan sang pangeran, dan kedua sebagai salah satu pengikut Diponegoro dengan wajah menghadap cemas ke arah depan seolah memperkuat rasa hormatnya terhadap Diponegoro.
Baca Juga: Pedoman Pelaksanaan Hening Cipta Hari Pahlawan 2023 Resmi dari Kemensos RI
Kepulangan dan tahun-tahun penuh makian
Dari catatan Het Vaderland, setelah hidup puluhan tahun di Eropa, Saleh pulang ke Batavia pada 1851 dan membangun mansion di Cikini.
Namun, Kraus mencatat bahwa Saleh merasa kehilangan identitas priyayi Jawanya. Raden Saleh kemudian memutuskan beristri dengan Raden Ayu Danudirdjo, sepupu Sultan Hamengku Buwono IX pada 1867 dan kemudian menetap di Buitenzorg.
Suatu sore, Raden Saleh dan istrinya berjalan-jalan menggunakan payung yang sering dipakai raja-raja Jawa.
Tingkah glamor Saleh ini menuai cercaan masyarakat dan teguran Asisten Residen karena dianggap tidak pantas mengenakan payung tersebut mengingat Saleh dan istrinya bukan dari keluarga Jawa tertinggi.
Raden Saleh mengaku bahwa payung itu adalah pemberian paman istrinya, patih Yogyakarta, sedang dirinya membela telah dianugerahi gelar oleh Kerajaan Belanda.
Sikap Saleh menimbulkan kebencian dari masyarakat. Dari catatan Bachtiar, hal itu sempat terwujud dalam pemberontakan di Bekasi yang menewaskan pegawai pemerintahan kolonial.
Satu dari 26 orang pemberontak menghiasi dirinya mirip Raden Saleh dan membuat surat bertandatangan Saleh, menyeret namanya ke dalam kasus pemberontakan.
Kasus itu menggiring Saleh membersihkan namanya dengan mengeluarkan pernyataan dalam terbitan jurnal Belanda, bahwa dirinya akan loyal dan tak mungkin menghianati Kerajaan Belanda.
Sebuah pernyataan yang menurut Bachtiar tidak revolusioner apalagi nasionalis.