Artinya: “Siapa yang mencari agama selain Islam, sekali-kali (agamanya) tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”
Hadirin dhuyûfurrahmân yang dimuliakan Allah, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 96 dan 97:
اِنَّ اَوَّلَ بَيْتٍ وُّضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبٰرَكًا وَّهُدًى لِّلْعٰلَمِيْنَۚ
Artinya: “Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia adalah (Baitullah) yang (berada) di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.”
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
Artinya: “Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.”
Hadirin dhuyûfurrahmân yang dimuliakan Allah, Rangkaian dua ayat inilah yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah haji untuk umat Islam. Ayat ini memiliki makna historis untuk mengingatkan kita bahwa di Tanah Suci yang diberkahi inilah pertama kali dibangun baitullah.
Dari tanah suci yang saat ini kita bisa merasakan auranya secara langsung ini pulalah Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk menjadi Rahmatan lil Alamin (rahmat dan petunjuk bagi seluruh alam).
Dan hanya di Tanah Suci ini pulalah kewajiban haji bisa dilaksanakan untuk menjadikan kita Muslim yang paripurna, Muslim yang sempurna, Muslim yang mabrur yang akan mendapatkan balasan surga dari Allah swt.
Rasulullah bersabda:
اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ له جَزَاءٌ الا الْجَنَّـةَ
Artinya: "Haji Mabrur tidak ada imbalan lain baginya kecuali surga". (HR Imam Ahmad)
Dalam melaksanakan ibadah haji kita mengawali dengan mengenakan pakaian ihram berwarna sama yakni putih yang melambangkan kesucian. Tidak mengenal dari mana kita berasal, setinggi apa pun jabatan kita, sebanyak apa pun harta kita, apa pun warna kulit kita, semuanya mengenakan pakaian ihram putih melambangkan kembalinya manusia kepada Allah, pemilik alam semesta.
Semua identitas, semua jabatan, dan kekayaan ditanggalkan seraya menyadari bahwa kita semua adalah sama di hadapan Allah swt. Menyadari bahwa tidak ada yang perlu disombongkan selama hidup di dunia.
Semua akan kembali kepada-Nya dengan kain putih yang membungkus kita. Hanya amal ibadah yang akan dibawa menghadap yang Kuasa, Allah swt. Selanjutnya kita melaksanakan wukuf di padang Arafah sebagai puncak dari ibadah haji.
Rasulullah bersabda:
الْحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ عَرَفَةَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ
Artinya: "Haji itu Arafah. Siapa saja yang mendapati malam Arafah sebelum terbit fajar malam Muzdalifah (malam Idul Adha), maka sempurnalah hajinya,'" (HR Ahmad)
Baca Juga: 3 Khutbah Jumat Akhir Bulan Syawal, Singkat Namun Menggetarkan Hati!
Wukuf, yang memiliki makna berhenti, merupakan lambang bahwa pada satu titik kehidupan, kita harus berhenti untuk melakukan muhasabah, perenungan, evaluasi, mendekatkan diri dan melambungkan jiwa serta nilai-nilai spiritual kita kepada Allah swt.
Wukuf menjadi momentum bagi kita untuk menyadarkan diri bahwa kita adalah makhluk yang sangat lemah di hadapan Allah swt.
Kita akan mempertanggungjawabkan segala yang telah lakukan selama di dunia ini, nanti di yaumul mahsyar.
Sebuah masa di mana manusia dari Nabi Adam sampai dengan kiamat nanti dikumpulkan dan akan dihisab amal perbuatannya. Wukuf di Arafah, di mana seluruh jamaah haji berkumpul di satu tempat dalam satu waktu, merupakan miniatur saat kita di Padang Mahsyar nanti.
Tidak ada lagi waktu untuk memperbaiki diri dan tidak ada lagi kebohongan bisa dilakukan saat kita mempertanggungkan apa yang kita lakukan selama di dunia.
اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Artinya: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Hadirin dhuyûfurrahmân yang dimuliakan Allah, Selain melakukan kontemplasi (perenungan diri), dalam ibadah haji kita juga diajarkan untuk senantiasa optimis dalam menjalani kehidupan ini.
Hal ini tercermin dari proses thawaf dan sa'i yang terus bergerak menuju titik tujuan sebagaimana hidup untuk menggapai harapan dan cita-cita. Semangat thawaf dan sa'i harus mampu kita wujudkan dalam setiap lini kehidupan kita sehari-hari.
Semangat untuk terus menjadi hamba yang baik dalam menjalankan misi utama di dunia yakni menjadi khalifah dan menyembah Allah swt. Selain itu, berkumpulnya jutaan jamaah dari berbagai negara dalam satu tempat ini memberi hikmah yang mendalam bagi kita.
Perbedaan-perbedaan yang ada, mulai dari ras, bangsa, tradisi, dan bahasa serta perbedaan lainnya bukanlah untuk dipertentangkan. Namun semua ini bisa menyatu dalam rangka saling memahami satu sama lain.
Allah swt bersabda:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS Al-Hujurat: 13).
Selain lebih arif dalam menyikapi perbedaan, dalam ayat ini Allah swt juga mengingatkan kepada kita untuk senantiasa menjadi orang yang bertakwa. Allah menegaskan bahwa ketakwaan merupakan hal yang sangat penting karena merupakan standar yang ditetapkan oleh Allah, apakah seseorang masuk ke dalam golongan orang-orang yang mulia atau tidak.
Dengan ketakwaan, kehidupan kita akan benar-benar terarah dan sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan oleh Islam. Karena takwa sendiri adalah sebuah sikap mampu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Orang yang bertakwa merupakan orang yang paling mulia si sisi Allah. Dalam haji, takwa juga merupakan bekal yang paling baik yang harus dibawa.
Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 197:
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
Artinya: “(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!”
Hadirin dhuyûfurrahmân yang dimuliakan Allah, Untuk mewujudkan hikmah dari rangkaian ibadah haji yang sudah dijelaskan ini, mari kita berdoa, memohon kepada Allah swt di tempat dan waktu yang mustajabah ini, semoga kita menjadi hamba yang dicintai dan disayangi Allah swt.
Semoga kita diberikan kekuatan dan kesehatan serta kelancaran dalam menjalankan prosesi ibadah haji ini sampai dengan selesai. Semoga kita diberikan kekuatan untuk menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah haji setelah kita menyelesaikan seluruh rangkaiannya.
Dan yang paling utama, mari kita semuanya berusaha dan berdoa, mudah-mudahan haji yang kita lakukan pada kali ini dicatat sebagai haji yang mabrur dan mabrurah. Amin, amin, ya Rabbal alamin.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْأَنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْأَيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ، وَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
3. Khutbah Jumat tentang Haji
Memahami Kewajiban Melaksanakan Ibadah Haji
اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وعلى اله وأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أما بعد: فيايها الإخوان، أوصيكم و نفسي بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون، قال الله تعالى في القران الكريم: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمان الرحيم: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صدق الله العظيم
Sidang Jum’at rahimakumullah,
Ibadah haji merupakan salah satu dari kelima Rukun Islam, yakni sebagai rukun terakhir setelah syahadat, shalat, puasa dan zakat. Perintah menunaikan ibadah haji adalah sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, Surah Ali Imran, Ayat 97 sebagai berikut:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa ibadah haji itu wajib. Tetapi hukum wajib itu dikaitkan dengan kemampuan karena ibadah ini merupakan sebuah perjalanan yang membutuhkan kemampuan materi dan kekuatan fisik.
Bila sebuah ibadah dikaitkan langsung dengan kemampuan para hamba-Nya, maka terdapat hikmah tertentu yang menunjukkan kebijaksanaan Allah SWT. Orang orang beriman akan menerima ketentuan tersebut tanpa berat hati.
Di sisi lain, dikaitkannya ibadah haji dengan kemampuan para hamba-Nya menunjukkan kasih sayang Allah SWT yang besar terhadap mereka. Semua ini sebagaimana telah ditegaskan di dalam Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah, Ayat 286:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” Hal yang sama juga ditegaskan dalam Surah Al Maidah, Ayat 6:
مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: “Allah tidak menginginkan bagi kalian sesuatu yang memberatkan kalian.” Selain di dalam Al-Qur’an, perintah ibadah haji juga disebut di dalam hadits Rasulullah SW. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda dalam suatu pidatonya:
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا. فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ
Artinya: “Wahai sekalian manusia, sungguh Allah telah mewajibkan bagi kalian haji maka berhajilah kalian!” Seseorang berkata: “Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?” Beliau terdiam sehingga orang tersebut mengulangi ucapannya tiga kali. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Kalau aku katakan ya, niscaya akan wajib bagi kalian dan kalian tidak akan sanggup.” Kemudian beliau berkata: “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya orang sebelum kalian telah binasa karena mereka banyak bertanya yang tidak diperlukan dan menyelisihi nabi nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukanlah sesuai dengan kesanggupan kalian. Dan bila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah.”
Dari hadits tersebut dapat diketahui secara jelas bahwa kewajiban menjalankan ibadah haji hanya sekali seumur hidup. Selebihnya tidak wajib. Ibadah haji kemanfaatannya lebih banyak untuk diri sendiri daripada untuk orang banyak.
Misalnya, dengan berhaji seseorang dapat mencapai kesalehan personalnya karena berarti telah melaksanakan salah satu perintah-Nya.
Dalam konteks Indonesia, dengan berhaji seseorang juga mendapat pengakuan status sosial tertetu di masyarakat dengan adanya gelar “Haji” atau “Hajjah” yang disandangnya.
Selain itu, dengan berhaji ke Mekah Saudi Arabia, seseorang memiliki pengalaman berkunjung ke luar negeri yang di masa sekarang umumnya menggunakan pesawat terbang. Ini merupakan pengalaman luar biasa karena tidak setiap orang mendapat kesempatan seperti itu.
Kemanfaatan ibadah haji seperti itu berbeda dengan zakat atau sedekah yang kemanfaatannya lebih banyak dirasakan langsung oleh orang lain maupun diri sendiri. Maka bisa dimengerti ibadah zakat diwajibkan setiap tahun sekali, sedangkan ibadah haji hanya sekali selama hidup.
Sidang Jum’at rahimakumullah,
Menunaikan ibadah haji hendaknya tidak ditunda-tunda sebab kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bisa jadi kita akan sakit atau malah mengalami kemunduran secara ekonomi, atau malah sudah meninggal dunia. Hal-hal seperti ini bisa menghilangkan kesempatan ibadah haji yang sebenarnya sudah ada di tangan.
Hilangnya kesempatan itu tidak berarti Allah SWT belum memanggil kita. Dengan diwajibkannya menunaikan ibadah haji sebagaimana termaktub dalam Al Quran dan Hadits, sesungguhnya setiap orang sudah dipanggil Allah SWT untuk menunaikan ibadah tersebut. Tentu saja bagi mereka yang memang sudah mampu hendaknya segera memenuhi panggilan itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيْضُ وَتَضِلُّ الضَالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ
Artinya: “Barangsiapa hendak melaksanakan haji, hendaklah segera ia lakukan, karena terkadang seseorang itu sakit, binatang (kendaraannya) hilang, dan adanya suatu hajat yang menghalangi.” Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
مَنْ لَمْ تَحْبِسْهُ حَاجَةٌ ظَاهِرَةٌ ، أَوْ مَرَضٌ حَابِسٌ ، أَوْ سُلْطَانٌ جَائِرٌ وَلَمْ يَحُجَّ ، فَلْيَمُتْ إِنْ شَاءَ يَهُودِيًّا وَإِنْ شَاءَ نَصْرَانِي
Artinya: “Siapa saja mati (sebelum mengerjakan haji) tanpa teralangi oleh kebutuhan yang nyata, penyakit yang menghambat ataupun penguasa yang dzalim, bolehlah ia memilih saja mati sebagai seorang Yahudi atau Nasrani”. Kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa menunda nunda ibadah haji padahal benar-benar sudah mampu dan semua keadaan memungkinkan, merupakan hal yang sangat tidak baik. Rasulullah SAW sampai mempersilakan orang seperti itu untuk memilih mati saja sebagai orang Yahudi ataupun Nasrani. Na’udzu billahi min dzalik.
Sidang Jum’at Rahimakumullah
Lalu bagaimana dengan mereka yang belum mampu menunaikan ibadah haji karena memang tidak mampu atau miskin? Rasulullah SAW pernah bersabda dalam suatu hadits yang diriwayatkan Abu Nu’aim al-Qudha’i dan Ibnu ‘Asakir dari Ibnu ‘Abbas, sebagaimana termaktub dalam Kitab Al-Jami’ush Shaghir, berbunyi:
الجمعة حج الفقراء
Artinya: “Shalat Jum’at adalah hajinya orang-orang miskin”.
Maksud hadits tersebut adalah shalat Jumat di masjid bagi orang-orang yang tidak mampu sama pahalanya dengan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Beberapa pihak menilai hadits di atas lemah. Tetapi sebagai upaya untuk mendorong orang-orang yang belum mampu menunaikan ibadah haji karena memang miskin, hadits ini sangat baik untuk diperhatikan agar mereka secara istiqamah dapat melaksanakan jamaah shalat Jumat di masjid.
Siapa tahu dengan istiqamah jamaah shalat Jumat, Allah SWT pada saatnya benar-benar memberikan kesempatan kepada mereka menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah Al Mukarromah. Amin ... amin ... ya Rabbal Alamin...
Terlepas dari status hadits di atas, hadits tersebut sebetulnya menunjukkan keadilan di dalam Islam bahwa orang-orang yang tidak mampu melaksanakan ibadah haji tetap memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan pahala yang besar, yakni dengan berjamaah shalat Jum’at secara istiqamah terutama di masjid. Dengan demikian, maka ajaran Islam tidak memiggirkan atau membuat kecil hati orang-orang lemah karena Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang penuh kasih sayang.
جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News
Baca Juga: 5 Teks Khutbah Jumat Singkat Terbaru Berbagai Tema, Bikin Merinding!