Namun, Bachtiar juga menyadari jika pelayanan optimal yang diberikan belum dapat memberikan kepuasan bagi semua pihak, ia mencontohkan bahwa saat ini antrean layanan radioterapi di seluruh rumah sakit di Indonesia yang memiliki layanan ini rata-rata memerlukan waktu 6 (enam) bulan, sedangkan di RSSA hanya 4 (empat) bulan, meskipun periode ini tergolong lebih cepat atau termasuk antrean terpendek dibandingkan rumah sakit yang lain tetapi hal tersebut masih belum bisa memberikan kepuasan pasien kanker karena pasien kanker memerlukan radiasi kurang dari 2 (dua) minggu.
Dalam kesempatan yang sama, salah satu peserta dari Komunitas Sahabat Anak Kanker Malang juga mengeluhkan perihal sulitnya mendapatkan kamar anak di RSSA, hal ini ditanggapi langsung oleh Kepala Bidang Pelayanan Medik dr. I Wayan Agung Indrawan, SP.OG(K).
Wayan menjelaskan bahwa ini merupakan permasalahan yang sulit dipecahkan, namun Ia juga memberikan alternatif solusi sementara dengan cara akan memindahkan unit-unit VIP yang berada di area Pediatri ke Grand Paviliun sehingga area di sana dapat dimanfaatkan untuk kamar kelas 1,2, dan 3 kamar anak.
“Ini masalah yang klasik, lama dan sulit terpecahkan, tapi harapan kami dengan pengembangan Grand Paviliun unit-unit VIP yang ada di sana bisa kami tarik ke Grand Paviliun jadi dengan demikian maka kelas 1, 2, 3 untuk anak-anak akan bertambah, mudah-mudahan bisa menjawab sementara,” ujar Wayan.
Selain itu Wayan juga memberikan bocoran terkait rencana pembangunan RSSA Malang kedepannya akan seperti apa.
Ia menjelaskan bahwa RSSA Malang tidak mungkin lagi melakukan perluasan bangunan secara horizontal atau ke samping kanan-kiri, tetapi harus dibangun secara vertikal atau ke atas.
Baca Juga: 300 Kades dan Lurah Siap Berkompetisi Perebutkan Paralegal Justice Award 2024
Diperkirakan dalam jangka waktu 1 atau 2 tahun ke depan RSSA Malang akan membangun 2 atau 3 superblock untuk memberikan solusi jangka panjang terkait permasalahan yang ada saat ini sehingga kualitas layanan dapat meningkat dan kepuasan masyarakat dapat tercapai.
Sementara permasalahan lain yang masih menjadi pekerjaan rumah dan membutuhkan kajian dan solusi dari instansi terkait adalah sulitnya kemudahan akses layanan kesehatan untuk pasien kanker yang menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), di mana pasien harus datang langsung untuk melengkapi syarat administrasi yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan dengan finger print, sedangkan di sisi lain kondisi fisik pasien dan kondisi geografis sangat memberatkan pasien untuk datang langsung ke rumah sakit.
Terkait hal ini Wayan menyebutkan bahwa memang sulit jika RSSA Malang harus menjemput bola karena kondisi geografis Malang yang cukup sulit dengan berbagai macam medan serta jarak tempuh yang lumayan jauh untuk menjangkau seluruh wilayah Malang.
Dijelaskan oleh Kepala Bidang Penunjang Diagnostik dan Terapi, dr. Widodo Mardi Santoso, Sp.S. bahwa fingerprint diberlakukan oleh BPJS Kesehatan sebagai syarat administrasi berobat karena menilik riwayat terdahulu di mana pasien yang tidak datang ke rumah sakit tetap dilayani sehingga BPJS Kesehatan memutuskan untuk menggunakan fingerprint sebagai syarat administratif pengobatan di rumah sakit.
Namun, fingerprint ini diperuntukan bagi pasien usia dewasa dan tidak untuk anak-anak.
Mendengar keluhan yang terjadi saat ini Widodo juga berkomitmen akan melakukan kajian terkait hal tersebut sehingga dapat memberikan solusi terbaik bagi masalah yang dihadapi oleh pasien.
“Kebetulan kalau pasien anak ini tidak membutuhkan finger ya, tapi finger ini dulu juga ada riwayatnya kenapa kok JKN atau BPJS itu menerapkan finger, karena banyak pasien yang tidak dapat ke rumah sakit kemudian dilayani pengobatannya.Kemudian BPJS, lho lek ngene carane ya harus ada buktinya. Nah sehingga mereka menerapkan itu. Tapi menjadi bahan kajian kami mas, jadi supaya ke depan itu masyarakat yang kondisi seperti ini juga mereka tidak tambah berat untuk dibawa ke rumah sakit”, pungkas Widodo.