Sonora.ID - Budaya itu seperti hati. Bagaimana kita memelihara budaya sama dengan memenuhi hati dengan cinta. Mewarisi dan melestarikan budaya merupakan wujud dari cinta itu sendiri.
Sehingga ketika seseorang memelihara budaya, ia akan memelihara cinta yang terpupuk di dalamnya. Alasannya, cinta itu tumbuh dan besar dalam budaya tersebut.
Demikian dijelaskan oleh GKBRAA Paku Alam dalam peluncuran buku “BATIK PAKUALAMAN – Antara Tradisi, Sastra dan Wastra” di Gedung Kepatihan Pakualaman, Yogyakarta, pada Kamis (04/07/2024).
Buku tersebut ditulis oleh GKBRAA Paku Alam, KMT Widya Hadiprojo dan Nyi MT Sestrorukmi. Diterbitkan Penerbit Kanisius, buku ini mengulas soal tradisi, sastra dan wastra (pakaian tradisional) yang diangkat dari nilai-nilai luhur Kadipaten Pakualaman dengan menggunakan media batik.
Dalam sambutannya yang termuat dalam buku tersebut, KGPAA Paku Alam X mengatakan bahwa batik Pakualaman dan buku yang diluncurkan terkait dengan pemeliharaan warisan budaya.
Dan itu, tidak lepas dari pidatonya pada 7 Januari 2016 dalam posisinya sebagai pengemban kebudayaan. Dan batik Pakualaman memiliki kekhususan yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah.
Sekalipun termasuk dalam tradisi batik gagrag (model) Yogyakarta, Batik Pakualaman menjadi khas karena pernah bersentuhan dengan gagrag Surakarta. Sejak 2011, Batik Pakualaman mendapat pengayaan karena motif-motif baru yang bersumber dari naskah-naskah kuno koleksi Perpustakaan Widyapustaka Kadipaten Pakualaman.
Dalam launching buku tersebut, ditampilkan tarian Tyas Muncar (hati yang cerah memancar) yang diciptakan oleh KGPAA Paku Alam X. Tarian ini akhirnya menjadi nama dari Rumah Batik Tyas Muncar di Pakualaman.
Rumah Batik Tyas Muncar dimaksudkan menjelaskan pancaran hati remaja puteri saat proses membatik.
Baca Juga: GKBRAy Paku Alam X : Meski Suami Tak Tahu, Saya Bahagia