Banjarmasin, Sonora.ID – Berbagai upaya terus dilakukan Pemerintah Kota Banjarmasin dalam mewujudkan penurunan angka stunting.
Salah satunya lewat Pertemuan Koordinasi dan Konvergensi Aksi III (Rembuk Stunting), belum lama tadi.
Kegiatan dibuka langsung Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina, didampingi Ketua Tim Penggerak PKK Kota, Siti Wasilah dan Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat, Muhammad Helfianoor, serta Satgas Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S) Kota Banjarmasin, camat dan lurah se-Kota Banjarmasin
“Pencegahan stunting di Banjarmasin untuk kedua kalinya ini kita laksanakan di tahun ini dan optimis angka stunting bisa diturunkan,” tuturnya.
Baca Juga: Inovatif & Kreatif, Pemko Banjarmasin Apresiasi 40 Pemuda Inspiratif
Ia menyebut, pertemuan itu sudah dua kali digelar untuk menyamakan komitmen bersama seluruh pihak dalam mengentaskan stunting.
Secara nasional, target penurunan stunting di angka 14 persen dan untuk Kota Banjarmasin ada di angka 22,4 persen.
Meskipun saat ini angkanya naik hingga 26,5 persen, tapi upaya tersebut akan terus jadi fokus pihaknya lewat kolaborasi lintas sektor.
“Sambil menunggu pengumuman Survei Status Gizi Indonesia atau data SSGI sebagai data yang paling valid untuk dijadikan referensi hasil intervensi,” jelasnya lagi.
Pihaknya optimis hasil intervensi serentak ada di angka 3,330 atau tidak jauh beda dengan hasil lainnya yang menunjukkan angka 97,5 persen,.
Sehingga ada pilihan data mana yang ingin digunakan sebagai referensi untuk program penurunan stunting yang dirancang.
Baca Juga: Puncak Hari Jadi ke-498 Kota Banjarmasin, Ibnu Sina 'Pamitan' ke Warga
Ia berharap dengan adanya lokus-lokus yang ada di Kota Banjarmasin pihaknya dapat memaksimalkan upaya penunrunan angka stunting lewat kolaborasi bersama lintas sektor.
“Mulai dari kader-kader Posyandu, dari Puskesmas, kader-kader PKK dan semuanya untuk dapat saling berkolaborasi,” pungkas Ibnu.
Prevalensi stunting di Kota Banjarmasin berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dirilis Kementerian Kesehatan melonjak dari 22,4 persen menjadi 26,5 persen.
Padahal targetnya adalah 14 persen yang jadi indikator kesehatan masyarakat.
Namun kenaikan itu diklaim karena adanya perubahan indikator penilaian, yang menjadi semakin banyak dan meluas.