Sonora.ID – Tahun baru 2025 sudah semakin dekat, hanya dalam hitungan hari kita sudah harus berpisah dengan tahun 2024.
Momen pergantian tahun selalu menjadi waktu istimewa yang dinanti-nanti oleh banyak orang di seluruh dunia.
Seperti di ketahui malam tahun baru merupakan perayaan yang sangat identik dengan semarak pesta dan kemeriahan.
Sebab biasanya tiap tahun akan ada berbagai acara menarik yang digelar dalam rangka menyambut pergantian tahun.
Misalnya seperti konser musik, pesta kembang api, barbeque bersama keluarga dan lain sebagainya.
Baca Juga: 3 Khutbah Jumat tentang Pergantian Tahun Baru Masehi, Menyentuh Hati
Tak hanya itu, biasanya pada malam tahun baru kita juga mengirimkan dan mendapat pesan ucapan selamatan Tahun Baru dari orang-orang terdekat.
Nah, kata kunci hukum merayakan tahun baru menurut Islam sedang ramai dicari di internet saat ini.
Mungkin karena banyak muslim yang ingin ikut dalam berbagai perayaan tahun baru, tapi masih tidak yakin boleh atau haram bagi mereka.
Lantas, bagaimana hukum merayakan tahun baru masehi menurut Islam?
Tahun Baru Masehi berbeda dengan penanggalan Hijriah yang menjadi acuan beribadah umat Islam.
Tahun baru Masehi merupakan pergantian tahun baru yang berlaku dalam kalender Masehi.
Penanggalan ini merupakan sistem waktu yang digunakan mayoritas masyarakat dunia.
Di Indonesia sendiri tahun baru jatuh pada tanggal 1 Januari karena mengadopsi kalender Gregorian, begitupun dengan mayoritas negara-negara di dunia.
Beberapa ulama ternyata memiliki pandangan berbeda terkait hukum merayakan tahun baru masehi menurut Islam.
Sebagian menganggapnya tidak diperbolehkan, sementara lainnya memberikan penjelasan dengan pendekatan yang lebih kontekstual.
Kendati demikian, para ulama memiliki dalil pendukung masing-masing sehingga memperbolehkan maupun melarang untuk merayakan tahun baru masehi.
Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi Menurut Islam
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa merayakan Tahun Baru Masehi bertentangan dengan ajaran Islam, karena merupakan tradisi non-Islam yang tidak berlandaskan syariat.
Oleh karena itu, banyak yang menganggap perayaan tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama.
Namun, menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), tidak ada larangan untuk merayakan Tahun Baru Masehi atau mengucapkan selamat tahun baru.
MUI mengimbau agar perayaan tersebut dilakukan dengan sederhana dan tidak berlebihan, serta tidak mengganggu ketenangan orang lain.
Melansir dari Nu Online, setelah menelaah berbagai literatur, dijumpai keterangan perihal kebolehan merayakan momentum tahun baru selama tidak diisi dengan kemaksiatan seperti tindakan huru-hara, balap liar, tawuran, pacaran dan lain sebagainya.
Hal tersebut selaras dengan pernyataan Guru Besar Al-Azhar Asy-Syarif serta Mufti Agung Mesir Syekh Athiyyah Shaqr (wafat 2006 M).
Dalam kompilasi fatwa ulama Al-Azhar beliau menyatakan:
وَقَيْصَرُ رُوْسِيَا "الإِسْكَنْدَرُ الثَّالِثُ" كَلَّفَ الصَّائِغَ "كَارِلْ فَابْرَج" بِصَنَاعَةِ بَيْضَةٍ لِزَوْجَتِهِ 1884 م، اسْتَمَرَّ فِي صُنْعِهَا سِتَّةَ أَشْهُرٍ كَانَتْ مَحِلَّاةً بِالْعَقِيْقِ وَالْيَاقُوْتِ، وَبَيَاضُهَا مِنَ الْفِضَّةِ وَصِفَارُهَا مِنَ الذَّهَبِ، وَفِى كُلِّ عَامٍ يَهْدِيْهَا مِثْلَهَا حَتَّى أَبْطَلَتْهَا الثَّوْرَةُ الشُّيُوْعِيَّةُ 1917 م. وَبَعْدُ، فَهَذَا هُوَ عِيْدُ شَمِّ النَّسِيْمِ الَّذِي كَانَ قَوْمِيًّا ثُمَّ صَارَ دِيْنِيًّا فَمَا حُكْمُ احْتِفَالِ الْمُسْلِمِيْنَ بِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ التَّمَتُّعَ بِمُبَاهِجِ الْحَيَاةِ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَتَنَزُّهٍ أَمْرٌ مُبَاحٌ مَا دَامَ فِى الْإِطَارِ الْمَشْرُوْعِ الَّذِي لَا تُرْتَكَبُ فِيْهِ مَعْصِيَّةٌ وَلَا تُنْتَهَكُ حُرْمَةٌ وَلَا يَنْبَعِثُ مِنْ عَقِيْدَةٍ فَاسِدَةٍ
Artinya: “Kaisar Rusia, Alexander III pernah mengutus seorang tukang emas ‘Karl Fabraj’ guna membuat topi baja untuk istrinya pada tahun 1884 M.
Proses pembuatannya berlangsung selama 6 bulan. Topi itu ditempeli batu akik dan permata. Warna putihnya dari perak dan warna kuningnya dari emas.
Di setiap tahunnya ia menghadiahkan topi serupa kepada istrinya hingga kemudian istrinya ditumbangkan oleh pemberontakan kelompok komunisme pada tahun 1917 M.
Mulanya acara ini merupakan suatu perayaan ‘Sham Ennesim’ (Festival nasional Mesir yang menandai dimulainya musim semi) yang merupakan tradisi lokal Mesir lantas berubah menjadi tradisi keagamaan.
Lalu bagaimanakah hukum memperingati dan merayakannya bagi seorang muslim?
Tak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak.” [Wizarah Al-Auqof Al-Mishriyyah, Fatawa Al-Azhar, juz X, halaman 311).
Senada dengan fatwa yang dirilis oleh Mufti Agung Mesir, ulama pakar hadis terkemuka asal Haramain, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki (wafat 2004 M) dalam kitabnya menegaskan:
جَرَتْ عَادَاتُنَا أَنْ نَجْتَمِعَ لإِحْيَاءِ جُمْلَةٍ مِنَ الْمُنَاسَبَاتِ التَّارِيْخِيَّةِ كَالْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ وَذِكْرَى الْإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَالْهِجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ وَذِكْرَى نُزُوْلِ الْقُرْآنِ وَذِكْرَى غَزْوَةِ بَدْرٍ وَفِى اعْتِبَارِنَا أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ عَادِيٌّ لَا صِلَةَ لَهُ بِالدِّيْنِ فَلَا يُوْصَفُ بِأَنَّهُ مَشْرُوْعٌ أَوْ سُنَّةٌ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُعَارِضًا لِأَصْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ لأَنَّ الْخَطَرَ هُوَ فِى اعْتِقَادِ مَشْرُوْعِيَّةِ شَيْءٍ لَيْسَ بِمَشْرُوْعٍ
Artinya: “Sudah menjadi tradisi bagi kita berkumpul untuk menghidupkan berbagai momentum bersejarah, seperti halnya maulid nabi, peringatan isra mi’raj, malam nishfu sya’ban, tahun baru hijriyah, nuzulul qur’an dan peringatan perang Badar.
Menurut pandanganku, peringatan-peringatan seperti ini merupakan bagian daripada tradisi, yang tidak terdapat korelasinya dengan agama, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang disyariatkan ataupun disunahkan.
Kendati demikian, juga tidak berseberangan dengan dasar-dasar agama, sebab yang justru mengkhawatirkan ialah timbulnya keyakinan terhadap disyariatkannya sesuatu yang tidak disyariatkan.” [Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahihah, [Surabaya: As-Shafwah Al-Malikiyyah], halaman 337-338.
Melihat dua referensi di atas dapat disimpulkan, peringatan momentum tahun baru dalam pandangan Islam masuk dalam kategori adat istiadat ataupun tradisi yang tidak memiliki korelasi dengan agama.
Sehingga, hukumnya bagi seorang muslim boleh-boleh saja merayakan pergantian tahun baru tersebut selama tidak diiringi dengan kemaksiatan.
Hukum Mengucapkan Happy New Year Menurut Islam
Menjelang pergantian tahun, topik pembicaraan yang kerap mengemuka bukan hanya terkait perayaannya saja, melainkan juga seputar hukum mengucapan selamat tahun baru atau populer dengan ungkapan Happy New Year.
Bolehkah kita sebagai muslim turut mengucapkan selamat tahun baru kepada segenap keluarga, kerabat, ataupun kolega?
Berkenaan dengan hukum mengucapkan selamat tahun baru, salah satu pemuka mazhab Syafi’i Syekh Ibn Hajar Al-Haitami (wafat 974 H) dalam kitabnya mengungkapkan:
قَالَ الْقَمُولِيُّ لَمْ أَرَ لِأَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِنَا كَلَامًا فِي التَّهْنِئَةِ بِالْعِيدِ وَالْأَعْوَامِ وَالْأَشْهُرِ كَمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ لَكِنْ نَقَلَ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ عَنْ الْحَافِظِ الْمَقْدِسِيَّ أَنَّهُ أَجَابَ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوا مُخْتَلِفِينَ فِيهِ وَاَلَّذِي أَرَاهُ مُبَاحٌ لَا سُنَّةَ فِيهِ وَلَا بِدْعَةَ
Artinya, “Imam Al-Qamuli berkata: “Aku tidak menemukan satu pun pendapat dari Ashab Asy-Syafi’i perihal ucapan selamat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, ucapan selamat pergantian tahun, dan pergantian bulan sebagaimana yang kerap dilakukan oleh kebanyakan orang. Namun Al-Hafidz Al-Mundziri pernah mengutip bahwa Syekh Al-Hafidz Abu Hasan Al-Maqdisi suatu ketika pernah ditanya tentang hal ini, lantas beliau menjawab, selalu terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal tersebut. Sehingga menurut pendapatku, ucapan selamat tersebut hukumnya adalah mubah (diperbolehkan), bukan sunah dan bukan pula bid’ah.” (Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Beirut: Dar Al-Fikr], juz III, halaman 56).
Kesimpulan
Merayakan momentum tahun baru dengan berbagai bentuknya, serta mengucapkan selamat tahun baru atau Happy New Year menurut perspektif kajian Islam merupakan hal yang mubah (diperkenankan), selama tidak dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat, seperti tindak kemaksiatan.
Meski begitu, alangkah baiknya bagi kita untuk memaknai pergantian tahun baru ini sebagai momentum untuk mengevaluasi diri agar lebih memaksimalkan ibadah ke depannya dengan ungkapan syukur.
Selain itu, yang tak kalah penting dalam momentum pergantian tahun ialah memohon kepada Allah Swt.
Agar senantiasa memberikan kita kekuatan untuk menjalankan kebaikan dan ketaatan serta dijauhkan dari segala marabahaya. Wallahu’alam bisshawab.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News
Baca Juga: 40 Gambar Ucapan Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 yang Meriah dan Unik