3. Akses Pemodalan yang “Kurang”
Walaupun pada kenyataannya perempuan dan laki-laki memiliki akses yang sama di bidang pemodalan bisnis, namun berdasarkan pengalaman para womenpreneur yang berada di tingkat UMKM, pemberi modal seperti bank dan perusahaan kredit cenderung membentuk stereotype yang melihat bisnis-bisnis yang dibangun oleh perempuan tidak memiliki prospek untuk berkembang menjadi bisnis besar.
Hal ini dikarenakan banyak stereotype yang menganggap perempuan berbisnis hanya untuk mengisi waktu luang bukan untuk membangun bisnis secara serius.
Namun, dengan berkembangnya womenpreneur di Indonesia, hingga kini semakin banyak program pembiayaan pemerintah khusus perempuan seperti kredit Melati di Bandung yang memberikan kredit 0% untuk perempuan, Bank Gakin di Jember yang memberikan kredit dengan bunga lebih rendah untuk perempuan, dan beberapa program pembiayaan lainnya.
Baca Juga: Buku Baru Twilight Saga, 'Midnight Sun' Akan Dirilis Bulan Agustus
"Memang menjadi seorang pebisnis pastilah memiliki kesulitan tersendiri, khususnya bagi kaum perempuan untuk itulah buku ini bisa menjadi panduan calon womenpreneur yang akan atau sedang memulai berbisnis tidak lagi merasa buntu dikala mendapatkan tantangan yang sama pun mengenai keterbatasan, sehingga para pengusaha wanita lebih mampu mengembangkan bisnisnya lebih dari sekadar bisnis pengisi waktu," ungkap salah satu penulis buku ini, Wawan Dewanto.
Buku ‘Womenpreneur: Ketika Perempuan Menjadi Pengusaha’ merupakan sebuah buku hasil karya alumni SBM ITB yaitu Isnaini Ruhul, Alpinaliah Rachmijati, Rafiati Kania, Prameshwara Anggahegari, Aang Noviyana Umbara, bersama salah satu Dosen Kewirausahaan SBM ITB Wawan Dewanto, Ph.D.
Buku ini berisikan kisah inspiratif, ilmu, dan kiat-kiat berbisnis bagi perempuan agar womenpreneur bisa menjadi kelompok pengusaha yang jauh lebih berkembang baik dari segi kemampuan maupun bisnis.