Konon nama "bajingan" berasal dari kata bajing atau hewan tupai yang sering mencuri air nira kelapa (badeg) saat masih di pohonnya.
Bajing memang menjadi musuh penderes nira kelapa kala itu ketika sebagian besar warga masih bertumpu kehidupan menjadi pembuat gula jawa.
Akibat ulah bajing, pendapatan mereka berkurang. Air nira yang sedikit otomatis memengaruhi jumlah gula yang diproduksi warga.
Baca Juga: Pemkot Semarang Dorong Kredit Modal untuk Membantu UMKM di Masa Pandemi
Jika air nira banyak, mereka bisa menghasilkan rata-rata 5 kilogram gula jawa sekali masak. Namun, karena sedikit, petani hanya menghasilkan 2 kilogram.
Pembuatan bajingan terbilang sangat mudah. Air nira direbus sebelum kemudian jadi gula jawa. Saat nira mulai mendidih, singkong dimasukkan beberapa saat sampai air nira meresap. Setelah itu baru diangkat dan disantap sebagai sarapan.
Bajingan memang bukan makanan mewah. Makanan ini justru identik dengan makanan rakyat jelata, khususnya pada petani atau penderes di kaki Pegunungan Menoreh itu.
Sekarang, bajingan tentu saja kalah dari makanan lain yang lebih kekinian.
Baca Juga: Kota Lama Semarang, Diusulkan menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO