“Untuk perkembangan jiwa, jika anak selalu dirumah, sosialisasi sebagai manusia utuh menjadi terganggu. Anak dirumah akan mengalami kendala psikologi karena tidak bisa berkomunikasi dengan yang lain, ketika sekolah tutup, belajar dengan daring, ada kegiatan sebagian hilang seperti olahraga dan bermain,” imbuhnya.
Pihaknya mengatakan bahwa belajar dengan daring, anak akan kurang mendapatkan kebutuhan jiwa dan raga, karena daring semata-mata menekankan pada aspek kognitif dan intelegensi.
“Bukan persoalan jiwa atau psikologi, ini yang kurang dalam upaya mengembangkan kepribadian anak,” pukasnya.
Ia menambahkan persoalan lainnya adalah pada anak yang baru pertama kali sekolah, mereka belum memiliki teman, sehingga menimbulkan problem psikologi anak.
Baca Juga: Regrouping SD menjadi SMP, Disdik Makassar akan Survei Sekolah
“Harus ada forum, agar anak bisa saling bertegur sapa, silaturahmi dan saling berkenalan, kalau perlu, sehari masuk, sehari belajar di rumah diselang-selingi,” imbuhnya.
Ia mengatakan bahwa persoalan lain adalah banyak orang tua yang mengeluh karena kesibukannya harus mendampingi anak belajar daring, karena anak belum memahami teknologi.
“Memang banyak problema dan tantangan karena kondisi social ekonomi masyarakat yang tidak sama, beda kalau sudah mampu semua, pemerintah harus membuat kebijakan agar anak anak di desa, di pegunungan dibuka saja, seperti biasa, supaya bisa belajar dengan baik,“ pukasnya.
Ia menambahakan bahwa di era teknologi memang mau tidak mau belajar daring tidak bisa ditinggalkan, namun tetap harus dipikirkan kebutuhan anak tidak sekedar intelektual tapi juga kebutuhan berkomunikasi juga perlu.
Baca Juga: DPRD Makassar Desak Pemkot Beri Solusi atas Nasib Ribuan Siswa yang Gagal PPDB 2020