Sonora.ID - Berdasarkan rilis laporan yang diterbitkan UNICEF hari ini, disampaikan bahwa 463 juta anak atau sepertiga dari total jumlah anak di dunia mengalami kesulitan mengakses pembelajaran jarak jauh setelah kegiatan di sekolah dihentikan akibat Covid-19.
Hal ini juga membuat banyak negara mengalami tantangan menyusun rencana untuk membuka kembali sekolah.
Sementara di Indonesia, berdasarkan data survei yang dilakukan Unicef bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan beberapa temuan.
Baca Juga: Hasil Survei UNICEF di 34 Provinsi, 66 Persen Siswa Tak Nyaman Belajar di Rumah
Di Indonesia, survei cepat belajar dari rumah yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Unicef menunjukkan, sekitar 45 juta anak sekolah telah didukung melalui pembelajaran jarak jauh baik online maupun offline selama Covid-19 selama penutupan sekolah.
Diketahui bahwa 35 persen siswa yang disurvei melaporkan koneksi internet yang buruk. Survei juga menunjukkan bahwa sebagian besar anak penyandang disabilitas mengalami kesulitan (73 persen) dengan kegiatan belajar dari rumah.
Tantangan terbesar adalah kurangnya konsentrasi, lingkungan belajar yang tidak mendukung, dan gangguan dari anggota keluarga lainnya.
Baca Juga: Cak Imin Minta Kemendikbud Sediakan Akses Belajar Jarak Jauh untuk Pelajar yang Kurang Mampu
Direktur Eksekutif Unicef, Henrietta Fore menyampaikan bahwa pada masa puncak karantina nasional dan wilayah di berbagai belahan dunia, jumlah anak yang terdampak penutupan sekolah mencapai hampir 1,5 miliar.
Laporan yang berjudul The Remote Learning Reachability ini pun menguraikan keterbatasan pembelajaran jarak jauh dan mengungkap jurang ketidaksetaraan akses yang mendalam.
Baca Juga: Sebabkan Siswa Jenuh, Perlu Ada Panduan Pembelajaran dari Rumah
“Pembelajaran jarak jauh tidak terjadi bagi setidaknya 463 juta anak yang sekolahnya ditutup akibat Covid-19. Jumlah besar anak yang pendidikannya terhenti selama berbulan-bulan dan tanpa kepastian menunjukkan situasi darurat di sektor pendidikan. Konsekuensi situasi ini akan terasa, baik dari segi ekonomi maupun oleh masyarakat, selama beberapa dekade ke depan,” kata Henrietta Fore.
Laporan tersebut menggunakan analisis yang merepresentasikan kondisi global dalam hal ketersediaan teknologi dan perangkat penunjang pembelajaran di rumah bagi anak-anak sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas.
Data yang dikumpulkan dari 100 negara mencakup akses kepada televisi, radio, dan internet serta ketersediaan kurikulum yang disampaikan melalui berbagai platform ini selama sekolah ditutup.
Baca Juga: Meski Belajar di Rumah, Sebuah Sekolah Menengah Atas di Medan Tetap Bebankan Biaya Sekolah
Bahkan, ada kemungkinan pembelajaran jarak jauh juga tidak dapat diikuti oleh anak-anak, meskipun memiliki perangkat penunjang belajar di rumah sekalipun.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kewajiban melakukan tugas-tugas di rumah, anak terpaksa bekerja, lingkungan belajar yang kurang kondusif, dan anak kekurangan dukungan memanfaatkan kurikulum daring atau materi belajar yang disiarkan.
Hingga kini, anak-anak bersekolah yang berasal dari rumah tangga termiskin dan tinggal di kawasan perdesaan adalah yang paling mungkin tertinggal pelajaran selama penutupan sekolah.
Baca Juga: Pemkot Makassar Gelar Pelatihan untuk Guru Terkait Teknik Belajar Jarak Jauh
Secara global, 72 persen murid yang tidak dapat mengakses pembelajaran adalah anak-anak yang berasal dari rumah tangga termiskin di negaranya. Di negara-negara berpendapatan menengah ke atas, anak-anak dari rumah tangga termiskin menyumbang 86 persen dari keseluruhan murid yang tidak bisa melakukan belajar jarak jauh.
Secara global, tiga perempat murid tanpa akses kepada pembelajaran jarak jauh tinggal di wilayah perdesaan.
Selain itu, laporan juga menyebutkan perbedaan tingkat akses antar-kelompok usia.
Murid termuda adalah kelompok yang paling mungkin tidak mendapatkan pembelajaran jarak jauh pada masa terpenting dalam proses belajar dan perkembangan mereka.
Baca Juga: Demi Belajar Online, Anak-Anak Belajar di Polsek Klungkung Untuk Dapatkan Akses Wifi Gratis
Berdasarkan Statistik Kesejahteraan Indonesia 2019, kurang dari 15 persen anak pedesaan rata-rata memiliki komputer atau laptop untuk mengakses internet di rumah mereka. Bahkan di daerah perkotaan, angka ini meningkat menjadi hanya 25 persen.
Unicef mendorong pemerintah di berbagai negara untuk memprioritaskan pembukaan kembali sekolah dengan aman seiring karantina dan kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat mulai dilonggarkan.
Apabila keadaan belum memungkinkan, Unicef mendorong agar rencana pembukaan sekolah menyertakan pembelajaran tambahan yang dirancang untuk mengompensasi hilangnya pembelajaran saat sekolah ditutup.
Baca Juga: Bimbing Anak, Seorang Ibu Kaget Temukan Konten Pornografi di Situs Belajar Online
Selain itu, kebijakan dan praktik pembukaan kembali sekolah perlu meliputi perluasan akses pendidikan, termasuk akses pembelajaran jarak jauh, terutama untuk kelompok marginal.
Sistem pendidikan perlu disesuaikan dan dibangun agar mampu menghadapi krisis lain di masa depan.
Saat ini, Unicef juga melakukan kampanye Reimagine yang bertujuan mencegah agar pandemi Covid-19 tidak berkembang menjadi krisis yang berlarut-larut bagi anak-anak, terutama anak termiskin dan paling rentan.
Unicef juga menyerukan dilakukannya investasi segera untuk menjembatani ketimpangan digital.
Investasi juga perlu diarahkan agar pembelajaran jarak jauh bisa menjangkau setiap anak dan pembukaan kembali sekolah secara aman dapat diprioritaskan.
Baca Juga: Kritik Kebijakan Belajar Online, Siswa: Google Lebih Pintar dari Guru