Saat itu, Jakob memperoleh gelar PhD dan akan menjadi sejarawan atau dosen sejarah.
Jakob juga sempat diterima sebagai dosen di Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung, dan disiapkan rumah dinas bagi keluarganya.
Unpar juga sudah menyiapkan rekomendasi PhD di Universitas Leuven, Belgia setelah Jakob beberapa tahun mengajar di sana.
Jakob merasa bimbang apakah ingin menjadi wartawan profesional ataukah guru profesional.
Baca Juga: Profil Jakob Oetama, Pendiri Kompas Gramedia yang Meninggal di Usia 89 Tahun
Kemudian Jakob menemui Pastor JW Oudejans OFM, pemimpin umum di mingguan Penabur.
Oudejans, Pastor tersebut menasihatinya bahwa guru sudah banyak namun wartawan tidak. Saat itulah yang menjadikan titik balik Jakob untuk fokus menggeluti dunia jurnalistik.
Pada awal 1960-an Jakob aktif menjadi pengurus Ikatan Sarjana Katolik Indonesia bersama Petrus Kanisiun (PK) Ojong.
Pada April 1961, PK Ojong mengajak Jakob untuk membuat majalah baru bernama Intisari, isinya sari pati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia. Majalah bulanan Intisari terbit pertama kali Agustus 1963.
Baca Juga: Donasi dari Pembaca, Kompas Salurkan Bantuan untuk Warga Cirebon
Bersama PK Ojong, Jakob Oetama pada tahun 1963 mendirikan majalah Intisari. Majalah ini berkiblat pada majalah Reader’s Digest yang berasal dari Amerika.
Selanjutnya kisah sukses Intisari dilanjutkan dengan mendirikan sebuah Koran harian yang di beri nama KOMPAS pada tahun 1965, dimana pada masa itu Indonesia sedang di sibukan oleh ancaman pemberontakan PKI.
Pergaulan di antara PK Ojong dan Jakob Oetama semakin luas. Dia berteman baik dengan Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Soe Hok Gie, dan Machfudi Mangkudilaga.