Bandung, Sonora.ID - Berusia 210 tahun, Kota Bandung memiliki sejumlah bangunan zaman dahulu. Banyak bangunan zaman Belanda yang hingga kini masih berdiri kokoh.
Sebut saja, Villa Isola, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, Gedung Majestic, Landmark Building, Gedung Jaarbeurs, Penjara Sukamiskin, Gereja Bethel, Katedral St. Petrus, dan Masjid Raya Cipaganti.
Namun jika menyebut nama-nama bangunan tersebut, tak bisa lepas dari nama Wolff Schoemaker. Ya, Wolff Schoemaker merupakan perancang semua bangunan tersebut.
Dikutip dari situs mooibandoeng.com, seorang pakar arsitektur dari Belanda, H.P. Berlage, pernah mengatakan bahwa Bandung adalah “kotanya Schoemaker bersaudara”. Karena Wolff Schoemaker memang memiliki seorang kakak yang juga terpandang dalam dunia arsitektur masa kolonial, yaitu Richard Schoemaker.
Charles Prosper Wolff Schoemaker dilahirkan di Banyubiru, Jawa Tengah tahun 1882. Ia menjalani pendidikan di Akademi Militer di Belanda hingga lulus dengan pangkat Letnan Zeni Militer. Kemudian ia kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1905. Lalu Wolff Schoemaker bekerja sebagai arsitek militer untuk pemerintah Hindia Belanda.
Baca Juga: Penjara Tua Peninggalan Portugis, Situs Wisata Sejarah di Minahasa Utara
Pada tahun 1911 Wolff keluar dari dinas militer dan dua tahun kemudian bekerja sebagai insinyur teknik pada Dienst Burgerlijk Openbare Werken atau Dinas Pekerjaan Umum Batavia.
Saat menjabat sebagai direktur di Gemeentewerken Batavia, diketahui ia menjadi seorang Muslim. Tidak ada informasi mengenai faktor apa yang menyebabkannya memutuskan berpindah agama saat itu.
Tak lama setelah memeluk agama Islam, Wolff Schoemaker mendapatkan gelar Kemal dari rekan-rekan Muslimnya. Kegiatannya dalam dunia Islam dilakukannya melalui jabatannya sebagai wakil ketua pada kelompok Western Islamic Association di Bandung.
Baca Juga: Belajar Sejarah, Proklamasi Kemerdekaan RI Bukan Dilaksanakan di Istana Negara, Lho!
Ia juga bergabung dengan organisasi Persatoean Oemmat Islam setelah masa perang kemerdekaan. Melalui sebuah surat panjang, Ia bahkan menyarankan pada mantan muridnya yang saat itu menjadi Presiden R.I., Ir. Soekarno, agar mengarahkan republik yang baru berdiri ini menjadi Kesultanan Indonesia Islamyah.
Pada tahun 1938 Wolff Schoemaker mendapatkan tugas untuk menggantikan kakaknya, Richard, sebagai pengajar di Techincal University di Delft. Dalam perjalanan menuju Belanda itu Wolff berkesempatan untuk mampir dan tinggal sebentar di Kairo, Mesir.
Setelah berada di Belanda, Wolff memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah pada akhir tahun 1938. Pada akhir tahun 1939 Wolff kembali ke Bandung dan melanjutkan tugasnya sebagai professor di Technische Hoogeschool (ITB).
Baca Juga: Serba-serbi Barongsai Khas Imlek, Dari Makna Hingga Gerakan Tariannya
Sebagai seorang Muslim yang cukup aktif dalam kegiatan keagamaan, Wolff Schoemaker cukup disegani oleh para mahasiswa Indonesianya. Sementara kalangan mahasiswa Belanda dan orang-orang Eropa lainnya tak dapat memahami pilihan Wolff Schoemaker untuk menjadi Islam.
Dalam pengantar untuk Cultuur Islam, Wolff Schoemaker menyatakan bahwa karakter yang humanis dan toleran dalam Islam memberikan peluang bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Mungkin hal itulah yang membuat Wolff Schoemaker merasa cocok dengan pilihannya.
Baca Juga: Sejarah 20 Mei: Hari Kebangkitan Nasional, Berdirinya Boedi Oetomo
Wolff Schoemaker memang merupakan figur yang sangat terbuka bagi ilmu pengetahuan. Ia juga unik sehingga tidak mudah dipahami oleh lingkungannya. Tidak mudah juga untuk dapat berteman dengannya. Kebanyakan rekannya menilainya sebagai seorang yang temperamental, emosional, sekaligus juga flamboyan dan sensual.
Masjid Kaum Cipaganti merupakan salah satu karyanya pada tahun 1934. Masjid ini dibangun di Nijlandweg, di tengah-tengah kompleks permukiman bangsa Eropa di Bandung Utara pada masa pemerintahan Bupati Rd. Tg. Hassan Soemadipradja. Namun saat meninggal dunia, ia dimakamkan di TPU Kristen Pandu pada tahun 1949.