Sonora.ID – Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menjadi salah satu elemen yang paling vocal dalam menyuarakan penolakan omnibus law UU Cipta Kerja.
Mereka ikut turun ke jalanan bersama elemen lainnya pada saat puncak demonstrasi, Kamis (8/10/2020).
Setelah aksi tersebut berlangsung, BEM SI merilis sejumlah pernyataan sikapnya terkait penolakan UU Cipta Kerja yang akan terus digaungkan hingga beleid itu dibatalkan oleh pemerintah.
Berikut sikap mereka seperti yang rangkum oleh Kompas.com.
Baca Juga: Tangkap dan Pukul Dosen Saat Demo di Makassar, Polda Sulsel: Sesuai Prosedur
‘Kami belum kalah’
"Kami Aliansi BEM SI menegaskan dan mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menanamkan niat dan usaha yang kuat, bahwasanya kita belum kalah!" ungkap Koordinator Pusat Aliansi BEM SI Remy Hastian melalui keterangan tertulis, Senin (12/10/2020).
BEM SI akan terus mendesak pemerintah untuk bisa membatalkan UU Cipta Kerja, termasuk mendesak Joko Widodo untuk menerbitkan Perppu.
Sebab, puncak aksi tolak UU Cipta Kerja pada Kamis (8/10/2020) dirasa tak membuahkan hasil lantaran Jokowi pilih melakukan kunjungan kerja ke Kalimantan Tengah, daripada menemui dan berdialog dengan demonstran.
"Ekskalasi gerakan mahasiswa dan masyarakat dibangun tidak hanya terbatas pada tanggal 8 Oktober saja, tetapi narasi perjuangan penolakan akan terus kami gaungkan sampai Pemerintah RI dalam hal ini Presiden mengeluarkan Perppu untuk mencabut UU Cipta Kerja," ujar Remy.
Baca Juga: Mahasiswa di Tangerang Kembali Demo Menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja
Sindir Jokowi ‘kabur’
Aliansi BEM SI sangat menyayangkan sikap Jokowi yang memilih pergi ke Pulau Pisau, Kalimantan Tengah untuk meninjau kawasan lumbung pangan seperti sawah dan peternakan bebek, ketimbang menemui demonstran.
"Sangat disayangkan pecahnya aksi massa saat itu, lagi dan lagi, Presiden RI dalam hal ini Joko Widodo tidak bersedia hadir menemui massa aksi, justru menyampaikan konferensi pers setelah aksi selesai di Istana Bogor," kata Remy.
Padahal, Jokowi sendiri diharapkan menjadi tumpuan masyarakat yang merasa dirugikan oleh UU Cipta Kerja.
Presiden memiliki kekuasaan untuk menerbitkan Perppu agar membatalkan UU Cipta Kerja, seandainya ia mau menggunakannya hanya untuk membela buruh.
Baca Juga: Kapolrestabes Semarang: Pembebasan 4 Mahasiswa Demo Harus Ada Prosedurnya
"Narasi yang kita perjuangkan pada hari itu, ternyata nihil, karena Presiden RI pada saat itu melanjutkan perjalanan dinas ke Kalimantan Tengah untuk melihat itik di sebuah peternakan," lanjut Remy.
Nilai diinformasi UU Cipta Kerja dipicu pemerintah
Mereka menganggap pemerintah tengah memutarbalikkan narasi elemen masyarakat dalam menolak UU Cipta Kerja.
Sebeb, pemerintah menduga aksi unjuk rasa besar-besaran ini dilatarbelakangi oleh hoaks yang beredar di masyarakat seperti yang disampaikan Jokowi, atau bahkan disponsori oleh pihak tertentu seperti yang diutarakan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartanto.
"Dalam hal ini pemerintah dan juga lembaga kesayangannya (DPR), mengesahkan UU 'siluman' karena draf final pun tidak tersedia untuk diakses publik," kata Remy.
"Sembrono bila dikatakan demikian. Penolakan digaungkan serentak di berbagai wilayah, dan juga disuarakan akademisi, LSM, NGO, buruh, mahasiswa, serta elemen masyarakat lainnya," jelasnya.
Aliansi BEM SI mengklaim, tuduhan-tuduhan yang dilontarkan pemerintah justru membuat keresahan baru di masyarakat.
Baca Juga: Akui Tahu Sosok di Balik Demo UU Cipta Kerja, Luhut: Birahi Kekuasaannya Ditahan Dulu
Padahal, pemerintah seharusnya bertanggung jawab untuk transparan dan terbuka ketika membahas UU Cipta Kerja.
Bukan justru menutup-nutupi kebenaran yang ada.
"Pemerintah lah yang menciptakan kebohongan serta membuat disinformasi yang sesungguhnya di mata publik, karena masyarakat tidak diberikan ruang untuk mengakses informasi mengenai UU Cipta Kerja yang telah disahkan," ujar Remy.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kala BEM SI Sindir Jokowi Kabur, Tuding Pemerintah Putar Balikkan Narasi".