Menurut Sri Mulyani kala itu, penyebabnya adalah pemerintah masih mengkaji sekaligus mempertimbangkan dampak dari kebijakan tersebut terhadap lima aspek.
Pertama, sisi kesehatan yakni dengan melihat prevalensi atau jumlah anak-anak, perempuan dan orang dewasa yang merokok cukup tinggi. Sehingga kebijakan yang diambil dinilai harus mampu menurunkan jumlah perokok di kalangan tersebut.
Kedua, tenaga kerja. Ia menilai meski banyak perusahaan rokok yang telah menggunakan mesin dalam proses produksinya, namun banyak pula yang masih melakukan proses pelintingan rokok secara manual.
Baca Juga: Hingga Oktober 2020 Penerimaan Cukai Rokok Mencapai Rp. 134,6 T
Ketiga, petani tembakau. Dalam hal ini harus melihat petani dalam menghasilkan tembakau dan memasok kepada industri rokok tetap berjalan dengan baik. Sehingga tidak mematikan atau menyusahkan petani tembakau.
Keempat, rokok ilegal. Menurutnya, kenaikan CHT jangan sampai membuat produksi rokok ilegal kembali membludak. Sebab, jika harga rokok naik maka akan semakin banyak rokok ilegal beredar dengan harga yang lebih terjangkau.
Kelima, penerimaan negara. Kenaikan CHT juga harus mempertimbangkan dampaknya bagi keuangan negara. Akan terjadi kenaikan tapi seberapa besar hal itu.
Baca Juga: Cukai Rokok Bakal Naik, Besaran Kenaikannya Akan Diumumkan Bulan Depan
"Jadi memang pertimbangannya adalah prevalensi merokok dari sisi kesehatan, kemudian tenaga kerja, petani, dan kemudian kemunculan rokok ilegal dan tentu kelima penerimaan negara. Jadi bayangkan policy maker melihat lima variabel dengan satu instrumen," jelas Sri Mulyani.