Banjarmasin, Sonora.ID - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalimantan Selatan (Kalsel), siap menghadapi gugatan hasil Pilkada 2020 yang diajukan Pasangan Calon (Paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan Nomor Urut 02, Denny Indrayana-Difriadi (H2D) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan sengketa pilkada ini berawal dari ketidakpuasan paslon nomor urut 02, karena kalah perolehan suara dari pesaingnya paslon nomor urut 01, Sahbirin Noor-Muhidin (BirinMU).
Komisioner KPU Kalsel, Nur Zazin mengatakan, dengan adanya permohonan yang masuk ke MK untuk KPU Kalsel, maka pihaknya akan mempelajari dan menyiapkan pokok-pokok jawaban untuk permasalahan yang dimohonkan di MK.
Baca Juga: Pansus Perkebunan Berkelanjutan Kalsel Sinkronisasi ke Kementan RI
”Untuk memperlancar penyelesaian PHPU di MK. Insya Allah KPU Kalsel akan mengambil pendampingan hukum,” ujar Zazin.
Ia menegaskan, KPU Kalsel berdiri sendiri untuk menjawab materi gugatan ke MK tersebut sesuai aturan yang ada di KPU, sementara posisi paslon 01 otomatis jadi pihak terkait, karena MK biasanya memberikan kesempatan dalam persidangan.
KPU Kalsel juga berdiri sendiri dan tidak ada intervensi oleh pihak atau siapa pun. KPU Provinsi, Kabupaten dan Kota, yang ada locus gugatan di MK siap menghadapi gugatan sengketa pilkada ini.
Sebab, selama ini KPU sudah bekerja secara profesional dan proforsional.
Selain itu imbuhnya, KPU Kalsel juga berkoordinasi dan konsultasi dengan KPU RI yang merupakan homebes mereka, sekaligus menyiapkan pendampingan hukum bagi KPU Kalsel.
“Kami di KPU Kalsel, insyaallah mempertahankan diri sesuai bukti-bukti dan fakta serta kami tidak mengada-ngada dan kami juga sudah ada membaca materi permohonan gugatan itu dan kami pelajari serta siapkan jawaban,” imbuh Nur Zazin.
Dihubungi terpisah, Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu (Korbid PP) DPD Partai Golkar Provinsi Kalsel, Puar Junaidi menyatakan kalau ada paslon mengajukan gugatan pilkada ke MK itu memang sudah diatur oleh undang-undang.
Artinya, UU tidak memberikan diskriminasi kepada siapa pun paslon kalau terdapat selisih perhitungan suara itu sampai 1,5 persen dan itu ada peluang melakukan gugatan.
Baca Juga: Pansus Perkebunan Berkelanjutan Kalsel Sinkronisasi ke Kementan RI
“Hanya saja orang menafsirkan 1,5 persen itu dengan berpikir dan gayanya sendiri, sehingga tidak secara obyektif tuntas mempelajari terhadap aturan-aturan itu,” sebut Puar.
Sementara MK, menangani selisih terhadap perhitungan suara, sehingga apabila perhitungan suara terjadi selisih, itu memungkinkan untuk dilakukannya gugatan.
Ditambahkannya, ini kan dalam tahap mempelajari gugatan-gugatan ada tidak bukti, artinya tempat kejadian dimana, lalu nanti diperhitungkan selisih suara dan bila benar terbukti, ini bisa dilakukan pemilihan ulang.
“Kalau selisih suara itu tidak memungkinkan, maka tidak mungkin dilakukan pemilihan ulang,” tukasnya.
Sementara disinggung soal intimidasi, menurut Puar, itu harus ada bukti-buktinya, apakah selama ini memang ada bukti intimidasi itu saat penghitungan suara dari tingkat TPS sampai kecamatan.
“Kalau ada kecurigaan itu bukan alat bukti dalam proses hukum,” ingatnya.
Sedangkan kasus di Binuang kalau paslon tidak menempatkan saksi, maka si calon itu tidak menggunakan hak konstitusi dan undang-undang sudah mendorong hak itu untuk menempatkan saksinya di TPS-TPS.
“Kalau tidak ada menempatkan saksinya di TPS, artinya si calon tidak menggunakan hak konstitusinya,” pungkas Puar.