Sonora.ID - Dalam webinar Kompas Talks bedah buku 75 tahun PLN menerangi negeri, Kepala Pusat Studi Energi UGM, Deendarlianto mengatakan PLN perlu mempertimbangkan program substitusi dari pembangkit listrik tenaga disel menjadi pembangkit listrik tenaga bio massa atau sistem hybrid.
Hal ini mengacu pada program energi nasional tahun 2025, yang mana dalam kebijakan tersebut, 23 persen energi baru terbarukan harus masuk dalam bauran energi nasional.
Namun, menurut Deendarlianto, meskipun terdapat angka target 23 persen, namun bukan berarti Indonesia 100 persen meninggalkan PLTU.
Baca Juga: Rasio Elektrifikasi Di Indonesia Sudah Hampir Mencapai 100 Persen
Jika melihat lebih jauh kebijakan energi nasional, Deendarlianto memaparkan bahwa, terdapat tahapan-tahapannya dan juga terdapat pembagian yang jelas, mengenai bagian atau porsi dari PLTU, porsi EBT, gas, dan juga minyak bumi.
Hal-hal lainnya yang harus dilakukan pln adalah melakukan percepatan elektrifikasi di desa 3T, yakni dengan pembangunan pembangkit EBT berbasis potensi energi lokal di daerah dengan skema mikrogrid.
“Bagaimana substitusi pembangkit listrik tenaga diesel menjadi pembangkit listrik tenaga bio massa atau sistem hybrid, itu juga menjadi program yang perlu dipertimbangkan kedepan. Karena kita mengacu pada program energi nasional pada 2025, ada 23 persen EBT harus masuk dalam bauran energi nasional.” Ujar Deendarlianto.
Lebih lanjut, Deendarlianto juga mengatakan, program-program lain yang juga harus dijalankan ataupun dipertimbangkan oleh PLN antara lain program bio massa untuk PLTU, yakni penggunaan woodchip, RDF sebagai campuran bahan bakar batubara pada PLTU.
Kemudian juga melakukan program pemberdayaan masyarakat, yang bekerjasama dengan pemerintah pusat dan daerah yakni dengan program ekosistem listrik kerakyatan dalam pemanfaatan bioenergi di desa.
Dan yang terakhir melakukan perencanaan alokasi pembangit non EBT dengan pembangit EBT di RUPTL.
Baca Juga: Co-firing, Strategi PLN Tingkatkan Kapasitas Pembangkit EBT, Termasuk di Kalse