Farianna melihat peluang dan potensi kesediaan bahan baku perlu dimanfaatkan untuk memperluas ekspor wood pellet.
“Di Indonesia saja, sebagai alternative co-firing, dengan kebutuhan PLN sekitar 8 juta ton pertahun, ini harus dimanfaatkan pelaku industri kehutanan. Khususnya untuk produk wood chips yang lebih murah, wood pellet dan wood chip sebagai EBT tidak hanya akan mendorong tercapainya target bauran energi dalam RUEN dan mengurangi emisi, tapi juga memiliki peluang ekonomi yang menjanjikan. Kemenko Marves mendukung percepatan pengembangan HTI untuk kesediaan bahan baku biomass energi yang berkelanjutan,” tambah Farianna.
Sebagai salah satu pelaku industry kehutanan, PT.Jhonlin Agro Mandiri telah mengelola Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk bahan baku pabrik wood chips dan wood pellet di lahan seluas 17.000 ha.
Baca Juga: Ridwan Kamil Sebut Energi Terbarukan Tetap Menjadi Prioritas
“Komitmen untuk mendukung pengembangan biomass energi, dengan telah mencadangkan 17000 Ha, 7000 ha sudah ditanami dengan sengon dan akasia. Untuk efektifitas pemanfaatan kawasan hutan cluster tanaman energi dapat dikembangkan dengan memanfaatkan lahan kurang subur untuk ditanami jenis kayu energi (bahan baku wood chips dan wood pellet),” Kata CEO Jhonlin Agro Mandiri Shin Myung Seob.
Target produksi biomass PT. Jhonlin Agro Mandiri 25.000 ton /Tahun, tapi saat ini pada tahap uji coba saat baru menghasilkan 2000 ton/tahun.
Dengan kapasitas industri wood pellet sebesar 36.000 ton/tahun atau 3.000 ton/bulan, menjadi tantangan tersendiri terkait kebutuhan penyediaan bahan baku dari serbuk kayu dan limbah pengolahan kayu, (sawdust, sawmill) atau kayu energi seperti kaliandra. Kebutuhan domestik seperti PLN masih sangat besar.
Namun, yang menjadi perhatian harga wood pellet masih belum kompetitif untuk pasar dalam negeri. Wood chips yang proses produksinya lebih sederhana bisa menjadi solusi, agar produk ini bisa memanfaatkan peluang pasar.
Baca Juga: Banyaknya Tantangan dalam Pengembangan Energi Terbarukan Biodiesel 100