Sonora.ID - Terjadinya hujan lebat di hampir seluruh negara bagian Australia menyebabkan banjir diberbagai daerah termasuk regional penghasil batubara, Hunter Valley dan Port of Newcastle.
Banjir yang terparah sejak 50 tahun terakhir tersebut membuat tambang batubara seperti Glencore dan Yancoal Australia memotong produksinya dan mengalami hambatan dalam proses distribusi. Terganggunya supply batubara Australia tersebut berdampak pada naiknya harga batubara Newcastle sebesar 11,85% untuk 4 hari perdagangan pada 17-22 Maret 2021.
Bencana alam juga terjadi di China, terjadinya badai pasir terburuk selama 10 tahun terakhir ini berdampak pada tertekannya produksi batubara, padahal masih tingginya aktivitas ekonomi China bergantung pada batubara sebagai sumber energi pembangkit listriknya.
Baca Juga: Menilik Kinerja Keuangan PT Indo Tambangraya Megah Tbk
Sentimen rendahnya supply batubara tersebut direspon pasar dengan naiknya harga batubara thermal China sebesar 13% menjadi diatas 600 yuan (US$92) dalam 4 hari perdangangan.
China Masih Ban Batubara Australia
Memanasnya geopolitik antara China dan Australia masih belum mereda, permasalahan tersebut berimbas kepada larangan impor China atas batubara Australia. Hal tersebut terlihat pada tingkat impor China atas batubara Australia yang berada di level mendekati 0 sejak Dec-20 hingga Feb-21.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan batubaranya, China beralih ke batubara Indonesia, terlihat tingkat impor China untuk batubara Indonesia terus mengalami kenaikan sejak Nov-20, berada di level 1 juta ton untuk minggu ke 2 bulan Maret 2021.
Demand Batubara Masih Solid
Pasca winter yang terjadi hingga awal tahun lalu, permintaan batubara dari china masih terus terjaga. Permintaan tersebut datang dari segmen pembangkit listrik, selama FY20 naiknya konsumsi listrik china sebesar 0,6% YoY menjadi kenaikan 4 tahun berturut-turut.
Hal tersebut berpotensi mendorong kebutuhan batubara mengingat lebih dari 57% energi China dihasilkan dari batubara, terlebih tahun 2021 China akan membangun puluhan pembangkit listrik baru yang dapat meningkatkan kapasitas pembangkit listrik China menjadi 1,25 TWatt (+4,7% YoY) dan diiringi dengan kontrak dagang untuk membeli 200 juta ton batubara Indonesia untuk tahun 2021, atau setara dengan 36,4% target produksi batubara Indonesia.
Masih tingginya permintaan batubara dari China menjadi keuntungan bagi produsen batubara Indonesia, mengingat Indonesia adalah eksportir batubara terbesar ke China (41,9%).
Sedangkan dari domestik, permintaan batubara berpotensi menguat didorong oleh inisiatif pemerintah dalam hilirisasi produk turunan batubara melalui insentif royalti bagi perusahaan yang melakukan hilirisasi produk batubara.
Baca Juga: Korsel Investasi Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap di Sumut
Di sisi produksi, pemerintah menargetkan tingkat produksi 2021 sama dengan tahun sebelumnya sebesar 558 juta ton dengan target penyerapan domestik (DMO) naik menjadi 137,5 juta ton (+4,1% dari realisasi 2020) atau 25% dari total produksi.
Secara historis, DMO tersebut 70% diserap oleh PLN sebagai bahan baku pembangkit listrik. Ditambah di sisi lain, keinginan pemerintah untuk melakukan hilirisasi batubara dapat menjaga konsumsi batubara domestik selain sebagai bahan baku pembangkit listrik.
Omnibus Law: Batubara
Melalui Omnibus Law Cipta Kerja, pemerintah memberikan insentif royalti 0% bagi perusahaan batubara yang melakukan hilirisasi atau meningkatkan nilai tambah produk seperti memproses batubara menjadi metanol, gas alam sintetis, dan dimetil eter (DME).
Insentif tersebut berpotensi memberi dampak positif bagi kinerja topline perusahaan batubara, mengingat royalti memiliki kontribusi yang cukup besar pada beban pokok pendapatan.
Disamping itu, pemerintah menjamin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dapat diperpanjang 2x10 tahun dengan persyaratan tertentu seperti praktek pertambangan yang baik dan telah melakukan penambahan nilai produk batubaranya.
Batubara Tahun 2021
Mulai pulihnya aktivitas perekonomian di berbagai negara berpotensi mendorong konsumsi listrik. Hingga 2020, 37% pembangkit listrik dunia masih ditenagai oleh batubara, hal tersebut berpotensi meningkatkan permintaan batubara sebagai sumber energi pembangkit listrik.
Di sisi lain, adanya perhatian khusus Pemerintah Indonesia untuk melakukan hilirisasi batubara menjadi produk yang memiliki nilai tambah dapat mendorong permintaan batubara domestik. Sedangkan dalam jangka pendek, terjadinya banjir di Australia dan badai pasir di China membuat terganggunya supply batubara karena terbatasnya aktifitas produksi, hal tersebut menjadi sentimen positif bagi harga batubara.
Melihat hal-hal tersebut, kami menilai batubara masih akan diperdagangkan pada harga yang atraktif dengan downside risk mulai beroperasionalnya kembali tambang batubara berpotensi meningkatkan supply dan menurunkan harga batubara, serta pasar produk hilirisasi batubara yang masih meraba-raba menjadi tantangan tersendiri.