Banjarmasin, Sonora.ID – Pelecehan seksual di tempat umum. Suami menyiksa istri hingga babak belur. Penyebaran foto atau video aktivitas pribadi mantan kekasih. Rupanya ketiga tema ini seolah jadi santapan sehari-hari di media. Baik cetak, daring, radio, hingga media sosial.
Seolah-olah sudah jadi hal yang lumrah terjadi. “Biasalah!” kalau kata anak muda zaman sekarang. Ironisnya, tak sedikit yang memandang sebelah mata terhadap para korban yang mayoritas adalah perempuan.
Bahkan berbagai stigma negatif juga disematkan kepada mereka yang menjadi korban pelecehan atau kekerasan. Seperti tak cukup rasa sakit yang diterima dari perlakuan itu hingga ditambah lagi dengan cemoohan warganet atau orang-orang di sekitar.
Baca Juga: Tak Dilatih, Berharap Satgas Covid-19 Sekolah Bisa Cegah Kerumunan Siswa
Sakit fisik, sakit mental, hingga tak sedikit yang berujung pada upaya menghabisi nyawa sendiri saking tak kuatnya menahan trauma. Pelecehan dan kekerasan juga tak pandang bulu. Tak peduli strata pendidikan, profesi ataupun latar belakangnya.
Salah satunya pernah dialami Tifa (bukan nama sebenarnya, red.), wanita 29 tahun yang bekerja di salah satu hotel berbintang di Kota Banjarmasin. Saat bertugas sebagai staf di restoran hotel tempatnya bekerja, beberapa kali pernah menerima perlakuan yang mengarah pada pelecehan dari tamu.
Seperti secara terang-terangan melontarkan godaan, hingga berani melakukan kontak fisik dengan memegang tangannya ketika sedang menyajikan makanan.
“Kita dalam posisi serba salah sih saat itu, mau marah tapi itu tamu dan sedang dalam tugas. Tapi kalau dibiarkan, harga diri saya rasanya tercabik-cabik, seolah dianggap bisa disentuh atau digoda sesuka hati,” tuturnya kepada Smart FM.
Baca Juga: 'Ketagihan' Tutup TPS, Pemko Banjarmasin Maksimalkan TPS Eks Pasar Buah
Kejadian beberapa tahun lalu itu menurutnya hanya diketahui rekan kerja satu shift dan tidak dilaporkan kepada atasan. Salah satu alasannya karena bingung bagaimana harus bersikap dan tentu takut kecewa jika tanggapan dari atasan tak sesuai dengan harapan.
“Apalagi kalau di luaran banyak yang menganggap hal seperti itu biasa aja, takut dibilang lebay atau tidak profesional,” tambahnya lagi.
Rasa trauma diakuinya masih ada hingga saat ini, meski berangsur pulih setelah pindah departemen. Seringkali rasa risih atau takut muncul jika berhadapan dengan klien yang bersikap terlalu akrab.
Menurut Tifa, salah satu penyebab pelecehan yang dialami saat bertugas kala itu karena adanya stigma negatif terhadap waitress atau pelayan restoran, yang semakin didukung dengan seragam yang dikenakan.
Tapi benarkah hanya orang berpakaian minim saja yang jadi sasaran pelecehan?
Nyatanya hal itu tak berlaku terhadap Ayu (bukan nama sebenarnya, red.). Berpakaian longgar, rok panjang dan hijab yang menutup dada tak serta merta melindunginya dari pelecehan yang terjadi di salah satu instansi pemerintahan saat bertugas dalam peliputan, lima tahun silam.
Baca Juga: Nama Pj Wali Kota Banjarmasin Sudah Ditangan, Ini Gambarannya
Ayu yang merupakan satu-satunya perempuan di ruangan itu menerima perlakuan yang tidak mengenakkan dari salah seorang staf yang masuk dan duduk di sampingnya. Bermula dari mengajak ngobrol dan berbasa-basi, oknum tersebut mulai berani menyentuh tangan dengan gestur santai, hingga mencoba merangkulkan tangan ke bahu Ayu.
Ia hanya bisa terdiam karena tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu dari orang asing, Ironisnya, rekan-rekan lain yang ada di ruangan justru hanya berdiam dan bersikap biasa saja. Seolah tindakan itu adalah hal normal yang terjadi dalam keseharian mereka.
Yang lebih gila lagi, rekan Ayu justru menyalahkan sikapnya yang diam dan tidak tanggap ketika rekannya itu mengirimkan kode untuk menjauh.
“Gak ada pembelaan, malah disalahkan kenapa gak langsung menjauh pas orang itu datang. Padahal waktu itu saya cuma bisa nunduk sambil cari akal biar bisa kabur,” ungkapnya.
Akibat kejadian itu pula, Ayu hingga saat ini masih memiliki rasa takut dan tidak pernah menginjakkan kaki lagi di gedung tersebut. Segala cara dilakukannya agar tak ada penugasan di instansi itu untuk menghindari bertemu atau menerima perlakuan serupa.
Baca Juga: Pemprov Kalsel Sepakat PSU Pilgub Digelar Setelah Libur Idul Fitri
Diungkapkan Megawati, Program Office on Inequality International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) beberapa waktu lalu, pihaknya terus mendorong RUU tersebut disahkan. Apalagi sejak 2014, pembahasan masih bergulir dengan pro dan kontra yang membumbui.
“Padahal, berdasarkan hasil studi kuantitatif yang dilakukan INFID di tahun 2020, 70,5% masyarakat Indonesia setuju dengan diberlakukannya RUU PKS. Karena RUU itu disusun berdasarkan pengalaman dan pendampingan korban,” tuturnya.
RUU PKS ditegaskannya tak hanya bicara tentang tindak pidana terhadap pelaku, namun juga rehabilitasi agar yang bersangkutan tak mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Tentunya juga termasuk di dalamnya adalah upaya untuk perlindungan, penanganan dan pemulihan bagi korban yang selama ini belum ada payung hukumnya.
Baca Juga: Terbesar Dalam Sejarah, Polres Banjar Gagalkan Peredaran 2,5 Kg Sabu
Meningkatnya kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan d Indonesia juga terjadi selama 12 tahun terakhir, bahkan naik hingga 800 persen berdasarkan catatan Komnas Perempuan. Tak hanya secara tatap muka, namun juga Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di dunia maya yang meningkat dari 126 kasus di tahun 2019 menjadi 510 kasus di tahun 2020. Jumlahnya terus bertambah di ranah digital, apalagi di situasi pandemi saat ini di mana orang-orang lebih banyak beraktivitas secara daring.
Hal itu pula yang mendasari digencarkannya kampanye “Stop Sexual Violence The Body Shop Indonesia: Semua Peduli, Semua Terlindungi, Sahkan RUU PKS #TBSFightForSisterhood”. Situasi darurat kekerasan seksual menjadi dasar bagi The Body Shop Indonesia bersama Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) untuk memberikan edukasi dan bentuk perlindungan bagi para korban.
Baca Juga: Lakukan Vaksinasi, Ribuan ASN Pemko Banjarmasin Ditarget Kelar Kamis
Aryo Widiwardhono, CEO The Body Shop Indonesia, menegaskan bahwa pihaknya tak hanya fokus pada bisnis namun juga ingin mengedukasi dan mendorong perubahan yang lebih baik.
“Bagi kami, kekerasan seksual itu penting untuk didorong dan kami melakukan kampanye Stop Sexual Violence karena Indonesia sudah darurat kekerasan seksual. Kami juga akan terus mengawal hingga RUU PKS disahkan oleh DPR RI,” ungkapnya beberapa waktu lalu.
Perjuangan mendorong pengesahan RUU PKS menurutnya juga menggandeng berbagai pihak, seperti Komnas Perempuan, komunitas, para penyintas serta media.
Baca Juga: Raih Predikat Terakreditasi Penuh, BBPPKS Banjarmasin Diminta Tingkatkan Inovasi
Tifa dan Ayu baru dua dari banyak perempuan yang menerima perlakuan buruk dari lawan jenis. Belum lagi jika dihitung dengan kasus-kasus pelecehan hingga kekerasan yang semakin menguatkan trauma terhadap korbannya. Sedangkan pelaku baik-baik saja tanpa ada hukuman yang mengikat karena korban memilih memendam sendiri lukanya.
Mereka hanya berharap ada regulasi yang mengatur dan mengikat agar kejadian serupa tak terulang, baik kepada diri sendiri dan juga orang lain. Salah satunya lewat pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang diharapkan mampu jadi benteng perlindungan perempuan dari pelecehan dan kekerasan seksual.
Baca Juga: Petugas Sigap, Pembalakan Liar di Hutan Lindung Tanah Laut Digagalkan