Banjarmasin, Sonora.ID - Sudah sepekan lebih Siti Raisa Miranda atau biasa disapa Echa yang saat sempat viral 2017 lalu, itu tertidur lelap kembali.
Si putri tidur asal jalan Pangeran, Kelurahan Pangerangan, Kecamatan Banjarmasin Utara itu diduga mengidap sindrom Kleine-Levin atau Hypersomnia.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kalimantan Selatan (Kalsel) dr. H. M. Rudiansyah pun angkat bicara dengan keadaan perempuan 16 tahun itu.
Baca Juga: Mrs. Sri Lanka yang Direbut Mahkotanya Buka Suara, Pelaku Ditangkap Polisi
"Keadaan tersebut menyebabkan Kantuk berlebih dapat disebabkan oleh hal-hal di luar penyakit. Kalau kita lihat ini kasus langka, memang itu sindrom tidur berlebihan atau hypersomnia," ucapnya, saat ditemui Smart FM Banjarmasin di ruang kerjanya, Jum'at (09/04) pagi.
Menurutnya, ada juga penyakit tidur yang berasal dari Afrika yakni Tripanosomiasis, yang hampir mirip dengan kejadian ini. Itu merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh infeksi protozoa yang tergabung dalam genus Trypanosoma.
Penyakit ini ditularkan ke manusia melalui gigitan lalat tsetse (genus Glossina) yang sebelumnya telah menggigit hewan atau manusia lain yang terinfeksi.
Namun Ia memastikan, bahwa bukan hal itulah yang menyebabkan Echa tertidur. Melainkan karena gangguan syaraf di bagian otak.
"Kalau kasus Echa ini bukan karena kasus infeksi. Ini berhubungan dengan gangguan atau kelainan syaraf di otak yang berhubungan dengan tidur," tambahnya lagi.
Ia membeberkan, pada kasus ini, Echa yang diduga menderita sindrom Kleine-Levin (KLS) yang menyebabkan tidur jangka panjang, namun kondisi tubuh tetap normal.
Baca Juga: Dianggap Tak Fasih Bahasa Inggris, Miss Eco Indonesia Jadi Perbincangan Warganet
Apalagi berdasarkan keterangan pihak keluarga, yang menyatakan bahwa Echa menjadi korban kecelakaan pada 2016 lalu.
"Ya mungkin saja. Karena terjadi kecelakaan ada darah menggumpal sedikit yang kebetulan merangsang daerah syarafnya, yang memicu rasa ingin tidurnya yang berlebih. Itu bisa juga," katanya.
Lantas, apakah bisa disembuhkan? Terkait hal itu, Kepala Divisi Nefrologi tersebut mengungkapkan perlu MRI atau pencitraan resonansi magnetik yang lebih detail dan cukup menguras biaya.
"Harus ada pemeriksaan lebih detail. Cuma saat ini ada di Jepang alat MRI yang cukup detail," tuntasnya.