Semarang, Sonora.ID - Dugderan, merupakan tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan di Semarang yang sudah ada sejak tahun 1881. Tradisi Dugderan bahkan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, mengingat Dugderan telah menjadi bagian dari sejarah panjang masyarakat di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, tradisi itu pun diputuskan Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi tetap berjalan, meski masa Pandemi COVID-19 belum usai.
Meskipun tradisi tersebut tetap berjalan, Wali Kota Semarang yang akrab disapa Hendi itu melakukan beberapa penyesuaian dalam pelaksanaannya.
Baca Juga: 5 Hal yang Bisa Mengurangi Pahala Berpuasa, Salah Satunya Impulsif
Prosesi Dugderan 2 tahun terkahir ini dijalankan secara sederhana dari Balaikota Semarang menuju Masjid Agung Kauman Semarang, mengingat pandemi belum berakhir.
Sedikit informasi mengenai tradisi yang sudah cukup tua ini, awalnya adalah untuk memberikan kabar kepada masyarakat tentang dimulainya puasa bulan Ramadhan. Sebab, saat itu sering terjadi perbedaan mengenai hari pertama puasa.
Istilah Dugderan diambil dari bunyi beduk dan suara meriam, yaitu “dug” dan “der” yang ditabuh dan disulut oleh Bupati Semarang kala itu. Kedua bunyi itulah yang menandai dimulainya puasa pada keesokan harinya.
Puncak tradisi Dugderan adalah kirab Warak Ngendog, replika binatang bertubuh kambing dan berkepala naga dengan hiasan kertas warna-warni yang melambangkan budaya Tionghioa, Arab, dan Jawa.
Warak Ngendog yang merupakan maskot Dugderan ini diarak bersama dengan karnaval yang disaksikan ribuan masyarakat di sepanjang jalan yang dilewatinya.
Namun, di 2 tahun terakhir, arak-arakan Dugderan dari Balaikota ke Masjid Kauman Semarang ditiadakan,mengingat dunia tengah dilanda pandemi dan pemerintah menegaskan untuk social distancing dan phisical distancing sehingga tidak boleh mengadakan acara keramaian yg menciptakan kerumunan.
Baca Juga: Mengenal Tradisi Kopi Arab dari Masjid Layur Semarang