Sonora.ID - Sepanjang Kuartal I/2021 harga batubara Newcastle diperdagangkan positif 18,5%, disebabkan oleh ketidak seimbangan antara permintaan dan penawaran, di mana permintaan yang mulai pulih seiring dengan aktifnya kembali perekonomian beberapa negara, sedangkan supply masih relatif rendah karena terdampak kontraksi ekonomi pada 2020.
Bahkan pada perdagangan 13 Mei 2021 harga batubara Newcastle mencapai level tertingginya sepanjang 2020-2021 di level US$ 101/ton. Harga batubara memang to the moon, tetapi bagaimana kinerja emitennya?
Kinerja/ Profitabilitas
Tiga emiten produsen batubara terbesar di Indonesia (ADRO, ITMG, dan PTBA) telah mempublikasi kinerja kuartal pertama tahun 2021 dengan hasil yang mix cenderung tertekan.
Baca Juga: Demand Batubara Masih Terjaga, Bagaimana Prospeknya?
Ketiga emiten tersebut kompak membukukan penurunan pendapatan, lebih rendah dibandingkan kuartal yang sama tahun sebelumnya. Penurunan pendapatan tersebut disebabkan oleh turunnya volume penjualan karena cuaca buruk yang terjadi sepanjang kuartal.
Meski begitu, ADRO menjadi satu-satunya yang berhasil membukukan kenaikan pendapatan kuartalan dengan naik +19,2% yang didorong oleh kenaikan average selling price (ASP) yang signifikan sebesar 30% dibanding Kuartal I/2020 meskipun volume penjualan masih turun. Kenaikan ASP dan penurunan volume penjualan tersebut juga terjadi pada ITMG dan PTBA hanya saja kenaikan ASP tidak dapat mendorong kinerja top linenya.
Di sisi bottom line, ketiga emiten membukukan kinerja yang beragam dengan sebab yang beragam pula. Kinerja mix ADRO disebabkan normalisasi pajak menjadi 36%, naik dibandingkan Kuartal I/2020 yang hanya 20,4%.
Hal tersebut berdampak pada kenaikan beban pajak sebesar 57% dibanding Kuartal I/2020. Sedangkan kinerja positif ITMG disebabkan oleh efisiensi beban operasional yang turun 30% dan turunnya beban pajak sebesar 51,5% dibanding Kuartal I/2020.
Lain halnya dengan PTBA yang tidak melakukan efisiensi yang signifikan di kala pendapatan turun menyebabkan kinerja bottom linenya cukup tertekan.
Baca Juga: Menilik Kinerja Keuangan PT Indo Tambangraya Megah Tbk
Cadangan Batubara (Resources & Reserves)
Dari ketiga emiten tersebut, PTBA memiliki umur cadangan batubara yang paling panjang dengan asumsi tingkat produksi sebesar 27 juta ton per tahun. Hal tersebut terjadi sebab PTBA cukup masif dalam ekspansi pembukaan lahan tambang baru yang berdampak pada meningkatnya resources dan reserves yang diiringi dengan tingkat produksi yang relatif rendah, lebih rendah dibandingkan ADRO (55,5 juta ton per tahun).
Diversifikasi Bisnis
Selain diversifikasi ke produk coking coal yang mendapat insentif royalti 0%, ADRO mulai membentuk bisnis green energy dengan mengembangkan biomass, panel surya, dan mengolah batubara menjadi hidrogen. Begitu pula PTBA yang melakukan diversifikasi dengan hilirisasi dalam bentuk gasifikasi, mengolah batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) untuk bahan baku LPG, disamping itu PTBA berencana akan mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya memanfaatkan lahan bekas tambang PTBA. Sedangkan ITMG masih berfokus pada bisnis batubaranya sehingga belum ada haluan untuk mengembangkan lini bisnis baru.
Dividen Tinggi
Ketiga emiten batubara tersebut konsisten membagikan dividen selama 13 tahun terakhir dengan rata-rata yield yang atraktif sebesar 11,32%. Kemampuan yang baik dalam menghasilkan laba menjadi dorongan untuk ketiga emiten tersebut terus membagikan dividen kedepannya.
Valuasi Overvalue
Jika dilihat dengan valuasi price to earnings, ketiga emiten tersebut sudah cukup mahal atau overvalue. ADRO dan ITMG diperdagangkan dengan valuasi yang paling mahal di +2 standar deviation P/E 5 tahun.
Sedangkan P/BV ketiga emiten tersebut masih cukup murah, dibawah rata-rata P/BV 5 tahunnya. Bahkan ADRO dan PTBA diperdagangkan di -1Std P/BV 5 tahun.
Baca Juga: Warga Kota Bitung Sulut Tambang Emas Di Halaman Rumah Sendiri
Pendorong Kinerja Sektor Batubara
Kinerja sektor batubara masih akan positif tahun 2021. Dorongan utama berasal dari permintaan batubara global yang mulai menunjukan pemulihan di kala supply yang relatif terbatas. Kondisi ini berpotensi menjaga average selling price (ASP) batubara di level yang menguntungkan bagi miner.
Permintaan yang tinggi terlihat di China, salah satu importir terbesar batubara. Dimana China tahun 2021 akan membangun puluhan pembangkit listrik baru yang dapat meningkatkan kapasitas pembangkit listrik China menjadi 1,25 TWatt (+4,7% YoY). Tercatat 57% energi China dihasilkan dari pembangkit bertenaga batubara.
Sedangkan dari domestik, upaya pemerintah dalam menjalankan proyek hilirisasi batubara (ex: gasifikasi) berpotensi membentuk demand segmen baru pada industri batubara. Ditambah insentif royalti 0% bagi emiten yang melakukan hilirisasi akan turut berkontribusi positif bagi kinerja, mengingat royalti memiliki porsi yang cukup besar terhadap beban pokok penjualan.
Downside Risk
Selain potensi yang dapat mendorong kinerja sektor batubara, investor juga perlu memperhatikan downside risk yang mungkin terjadi dan berdampak negatif pada kinerja sektor batubara seperti, harga minyak yang tinggi dan berada pada trend naik menjadi hal negatif yang dapat membebani kinerja perusahaan dengan beban bahan bakar yang lebih tinggi. Selain itu, fluktuasi harga batubara juga menjadi faktor negatif yang berpotensi berdampak negatif bagi kinerja sektor batubara terutama berasal dari pemulihan ekonomi yang tidak sesuai dengan ekspektasi.
Risiko negatif juga datang dari kecenderungan shifting dari energi berbahan bakar fosil ke energi yang lebih ramah lingkungan seperti halnya Korea Selatan dan Jepang yang berencana menghentikan pembiayaan batubaranya di Indonesia dan beralih ke green energy.