Solusi Agar APBN dan PLN Tak Terbebani soal PLTS Atap

19 Agustus 2021 16:50 WIB
Anggota Dewan Energi Nasional Ir Satya Widya Yudha, Msc
Anggota Dewan Energi Nasional Ir Satya Widya Yudha, Msc ( Istimewa)

Jakarta, Sonora.Id - Pemerintah perlu mencari jalan tengah untuk alternative dari rencana revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh konsumen PLN agar APBN dan PLN tidak terbebani.

Pasalnya, revisi Permen PLTS Atap yang mengubah rasio ekspor-impor listrik dari 65% menjadi 100% mengesankan bahwa berart ibarang ditukar barang. Padahal listrik jika dititipkan harus bayar karena masuk kejaringan PLN pada siang hari dan baru akan digunakan pada malam harinya.

Hal tersebut disampaikan Mukhtasor, mantan Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014) saat menjadi narasumber pada “Curah Pendapat” bertema Roadmap Pengembangan EBT di Indonesia yang digelar Energy and Mining Editor Society (E2S) secara virtual, Kamis (19/8/2021). 

“Kalau di jaringan PLN harus bayar. Padahal salah satu misi BUMN itu untuk keuntungan. Kalau yang diuntungkan sebagian, maka tidak akan berlangsung lama,” kata Mukhtasor

Ia mengaku telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM yang mengusulkan untuk mencari jalan tengah. Pasalnya, PLTS Atap penggunaan mahal, namun pemakaian sedikit. Kondisi ini bias membuat portofolio PLN tidak bagus.

“Persoalan di PLN justru kontribusinya bukan di PLN itu sendiri, tapi ada dari IPP (Independent Power Producer), sponsor dan lainnya. Untuk IPP feed in tariff maka harga akan naik dan ada risiko over supply,” kata Guru Besar InstitutTeknologi 10 November Surabaya ini.

Menurut Mukhtasor, jika selisih harga listrik PLTS Atap dibayar oleh APBN itu akan membebani. Kalau asumsinya negara mampu, APBN harus dialokasikan untuk investasi EBT.

“Khusus PLTS Atap saya sampaikan ke Presiden ada jalan tengah bagi semua pemangku kepentingan dan menjadi model gotong royong sebagai bangsa,” ujarnya.

Negara melalui pemerintah, menurut Mukhtasor, mengambil peran kepemimpinan dan terdepan dalam transisi energy dengan mengintegrasikannya lewat transisi industry nasional di bidang EBT di dalam negeri.

“Saya tidak ingin solusinya parsial yang akan memberatkan negara. Solusinya komprehensif dengan cara rantai pasok diperkuat karena sudah ada tinggal nanti business to business,” ungkap tambahnya.

Mukhtasor menambahkan, jika pemerintah memberikan kompensasi atau insentif, jangan diberikan di hilir, namun di hulu. Caranya dengan menurunkan biaya modal. Di hulu industry pemasok PLTS diberikan kompensasi, akhirnya kalau pasang PLTS Atap harganya lebih murah dan PLN tidak akan diganggu.

“Jangan sampai nasib EBT kedepan seperti migas. Kalau migas kemandirian energy itu tidak tampak. Itulah yang dipesankan oleh Bung Hatta yang namanya pembangunan negara dan capital makin lama makin besar,” kata dia.

Sementara itu Sunarsip, Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence,mengatakan kondisi pasokan listrik di Jawa dan Bali sebenarnya over capacity.

Kalau muncul istilah gagasan baru dengan mengembangkan EBT apalagi PLTS Atap, harus diperhitungkan kondisi kelebihan pasokan yang terjadi saat ini.

“Jangan sampai pengembangan masif PLTS Atap malah membebani PLN dan keuangan negara. Yang menjadi catatan bahwa sebenarnya target rencana induk energi disusun dengan asumsi yang optimistis, padahal realisasinya kita tidak pernah mengalami pertumbuhan ekonomi sampai 7%,” kata Sunarsip.

Menurut Sunarsip, biasanya dalam industri listrik itu dibuat lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Namun kenyataannya saat ini konsumsi listrik sudah jauh di bawah pertumbuhan ekonomi. Dengan kondisi tersebut, jangan sampai yang sedang dipersiapkan pemerintah untuk pengembangan EBT malah menambah beban untuk pelaku industri yang lain.

Chrisnawan Aditya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, mengatakan prinsip yang dipegang pemerintah sebagai regulator harus imbang. Bahwa regulasi itu tidak bias memuaskan semua pihak, ketika timbangan lebih berat ke utility,akan ada reaksi dari pihak lain.

Dia juga menyanggah bahwa revisi permen PLTS Atap bahwa harga ekspor-impor listrik akan naik dari 65% ke 100%.

“PLTS Atap tidak untuk diperjual belikan, yang kita tingkatkan adalah nilai ekspornya,” kata Aditya.

Menurut dia, berdasarkan survei, nilai ekspor dari PLTS Atap adalah 20% lalu dikalikan 100%. Pengguna PLTS Atap pasti akan menggunakan untuk sendiri lebih dulu, sisanya diekspor.

“Apakah nanti pendapatan PLN berkurang, sudah kami lakukan kajian. Memang pendapatan PLN akan turun,” tambahnya.

Hal senada disampaikan Satya W Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan revisi Permen ESDM soal PLTS Atap bertujuan mengurangi penggunaan listrik.

Dalam konteks penurunan emisi karbon, lanjut dia, kalau yang berpartisipasi banyak otomatis penggunaan energy yang masih campuran tadi berkurang.

Menurut Satya, pengembangan PLTS Atap demi memajukan industri. Dia menyebutkan ada beberapa hal yang menyangkut PLN bahwa tugas kenegaraan dipisahkan dari tugas industry murni. Sekarang PLN pun sudah contracted take or pay. Ini menjadi hal yang tidakmudah.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
92.0 fm
98.0 fm
102.6 fm
93.3 fm
97.4 fm
98.9 fm
101.1 fm
96.7 fm
98.9 fm
98.8 fm
97.5 fm
91.3 fm
94.4 fm
102.1 fm
98.8 fm
95.9 fm
97.8 fm
101.1 fm
101.1 Mhz Fm
101.2 fm
101.8 fm