Hasilnya, hanya 57 persen siswa yang melakukan frekuensi ganti pembalut sesuai dengan standar praktik MKM yang dianjurkan yaitu 4 sampai 5 jam dan hanya 9,2 perse siswa yang tahu alasan mengganti pembalut dari segi kesehatan.
Begitupun dengan cara membuang pembalut, hanya 48 persen siswa membuang pembalut sesuai standar yakni membungkusnya dengan plastik atau kertas kemudian dibuang ke tempat sampah dan hanya 36 persen siswa yang tahu cara mengatasi masalah tembus saat mentruasi.
Pengetahuan siswa perempuan yang belum menstruasi dan siswa laki laki terkait apa yang harus dilakukan ketika melihat temannya yang tembus juga masih sangat terbatas.
Hasil diskusi yang sama menunjukkan hanya 7.7 persen siswa laki laki dan 11.4 persen siswa perempuan yang tahu akan pentingnya menghormati teman mereka yang sedang menstruasi. Dengan cara menawarkan bantuan untuk membelikan pembalut, tidak mengejek, merundung (bulhing) atau menyarankan temannya untuk menutupi rok atau celana yang terkena darah mentruasi dengan tas atau jaket.
Baca Juga: Gelar Diskusi Pemenuhan Hak Disabilitas, Masih Perlu Sinergitas Agar Optimal
Pengetahuan dan praktik MKM siswa yang terbatas bisa memberikan dampak pada masalah pendidikan dan munculnya masalah kesehatan seksual dan reproduksi.
Untuk mengatasi masalah tersebut, sebanyak 1.891 siswa perempuan dan laki laki diberikan edukasi MKM. Saat edukasi, siswa diajarkan berbagai materi terkait seputar MKM oleh guru di masing masing sekolah.
Selain itu, LemINA menyediakan akses informasi dalam bentuk media komunikasi seperti buku komik dan cerita, stiker, poster, video dan powch pembalut sebagai strategi komunikasi yang menarik dan mudah dipahami oleh anak.
Baca Juga: Universitas Ngurah Rai Gelar Diskusi Urgensi Amandemen Terbatas PPHN Untuk Kesinambungan Pembangunan