Pola pikir idealis ini akan menyebabkan para remaja mengalami konflik dalam diri sendiri ketika ekspetasinya tidak sesuai dengan realita yang ada.
Konflik ini yang membuat remaja merasakan emosinya bergetar dalam diri, sehingga menjadi mudah marah dan sering menangis ketika dihadapi oleh realita hidup yang memang berat.
Ini juga menyebabkan para remaja menjadi sosok yang overthinking bahkan hingga merasa insecure dengan kemampuan yang mereka miliki.
Di sisi lain, orang tua juga kerap kali membebankan ekspetasi yang tinggi kepada anak mereka yang berada di fase remaja.
Baca Juga: Realisasi Vaksinasi Remaja di Palembang Masih di Bawah 10 Persen
Ekspetasi ini membuat para anak di fase remaja cenderung menjadi sangat tertekan, sehingga mereka merasa memiliki beban yang terlalu besar untuk dipikul di usianya yang terhitung masih dini.
Tidak heran, para anak di fase remaja ini akan sering memiliki konflik juga dengan orang tua karena beban-beban yang diberikan tidak sepadan dengan kemampuan sang anak.
Perkembangan zaman yang semakin modern ini juga memengaruhi emosi anak pada remaja menurut Oriza.
Psikolog ini menjelaskan bahwa para remaja sekarang cenderung menjadi sosok yang perfectsionist akibat tuntutan dari lingkungan yang serba cepat dan mudah.
Baca Juga: Ajari Anak untuk Berbicara, Ini Sarana Terbaik yang Dapat Digunakan!
Tuntutan dari...