Sonora.ID - Remaja memang tidak akan lepas dengan kata-kata yang menyangkut dengan perasaan emosi.
Sering kali ditemukan para remaja yang bersifat mudah marah, gampang tersinggung, dan bahkan sensitif hingga sering menangis di kehidupan sehari-hari.
Perasaan-perasaan emosi ini sangat wajar untuk dirasakan oleh para remaja dan hal ini selaras dengan perkataan RA Oriza Sativa, S. Psi, Psi. CH., saat menghadiri program Talkshow with Mayapada Hospital yang ditayangkan melalui YouTube Sonora FM.
Oriza menjelaskan bahwa terjadi perkembangan hormon dalam diri remaja sehingga mereka merasakan gejolak emosi yang tidak stabil.
Baca Juga: Memahami Pentingnya Sex Education pada Anak Usia Pra-Remaja Menurut Psikolog Klinis Anak
Para remaja juga dinilai sebagai sosok yang belum bisa membedakan tentang hal yang baik dan benar bagi dirinya sendiri.
Ini menyebabkan mereka berada di fase kebingungan karena semua hal tampak sama di mata para remaja.
Selain dari itu, remaja juga masih sulit dalam membedaka realitas dan ekspetasi.
Umumnya, para remaja memang lebih idealis dengan pola pikirnya. Mereka merasa bahwa segala hal dapat sesuai dengan keinginannya, padahal tidak semua keinginan dapat terwujudkan dalam kehidupan.
Baca Juga: Anti Terlihat Tua, Ini Tips Make Up Bagi Remaja yang Simple dan Natural
Pola pikir idealis ini akan menyebabkan para remaja mengalami konflik dalam diri sendiri ketika ekspetasinya tidak sesuai dengan realita yang ada.
Konflik ini yang membuat remaja merasakan emosinya bergetar dalam diri, sehingga menjadi mudah marah dan sering menangis ketika dihadapi oleh realita hidup yang memang berat.
Ini juga menyebabkan para remaja menjadi sosok yang overthinking bahkan hingga merasa insecure dengan kemampuan yang mereka miliki.
Di sisi lain, orang tua juga kerap kali membebankan ekspetasi yang tinggi kepada anak mereka yang berada di fase remaja.
Baca Juga: Realisasi Vaksinasi Remaja di Palembang Masih di Bawah 10 Persen
Ekspetasi ini membuat para anak di fase remaja cenderung menjadi sangat tertekan, sehingga mereka merasa memiliki beban yang terlalu besar untuk dipikul di usianya yang terhitung masih dini.
Tidak heran, para anak di fase remaja ini akan sering memiliki konflik juga dengan orang tua karena beban-beban yang diberikan tidak sepadan dengan kemampuan sang anak.
Perkembangan zaman yang semakin modern ini juga memengaruhi emosi anak pada remaja menurut Oriza.
Psikolog ini menjelaskan bahwa para remaja sekarang cenderung menjadi sosok yang perfectsionist akibat tuntutan dari lingkungan yang serba cepat dan mudah.
Baca Juga: Ajari Anak untuk Berbicara, Ini Sarana Terbaik yang Dapat Digunakan!
Tuntutan dari lingkungan ini membuar para remaja menjadi berambisi untuk mengejar segala hal yang menurutnya dapat menjadi sebuah benefit di kemudian hari dan menyebabkan kelelahan emosi yang dikenal sebagai burn out.
Tentu, memiliki suatu ambisi dalam mengejar keinginan itu dapat dikatakan sebagai hal yang baik.
Tetapi, ketika para remaja tidak dapat menyortir kegiatannya sehingga menyebabkan burn out, maka mereka hanya melukai mental diri sendiri dan mengganggu emosi yang sedang menggebu-gebu di fase remaja.
Oleh karena itu, kehadiran orang tua di sisi para remaja menjadi sangat penting untuk membimbing mereka dalam mengatur emosi.
Kesabaran adalah kunci utama dalam menghadapi para remaja yang memang sedang berada di fase kesulitan dalam mengontrol emosi.