Raden Ayu Siti Khotijah dibawa ke kuburan areal pemakaman yang luasnya 9 Ha. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya 'aku sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini.
Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang sholat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak." Demikian kata Siti Khotijah.
Raden Ayu berpesan kepada Sang patih "jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam, karena senjata tajam tak akan membunuhku. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih serta dililitkan dengan benang tiga warna, merah, putih dan hitam (Tri Datu), tusukkan ke dadaku.
Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut kramat".
Baca Juga: Penggunaan Masker Jadi Budaya Baru Wajib Diterapkan
Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badanya keluar asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Peristiwa itu sangat mengejutkan para patih dan pengawal. Perasaan dari para patih dan pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat menyesal dengan keputusan belia.
Jenazah Raden Ayu dimakamkan di tempat tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut kramat, sesuai dengan permintaan beliau menjelang dibunuh. Untuk merawat makam kramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.
Demikian kisah sang putri yang saya kutip dari beberapa sumber, ada beberapa simpulan dari cerita diatas: Bali, sangat mempertahankan agama, budaya dan tradisinya. Hingga Proses Islamisasi sepertinya tak pernah sampai kesana, kuat dugaan saya keikutan Cakraningrat IV dalam sayembara merupakan salah satu usaha Islamisasi.
Sikap teguh untuk tidak akan meninggalkan Hindu ini juga terus dipegang raja-raja Bali sesudahnya termasuk ketika Bali pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Meski begitu, bukan berarti Bali tertutup dari pengaruh budaya luar. Bali sangat terbuka terhadap datangnya saudagar-saudagar muslim dan mereka disebut sebagai nyama selam (saudara dari umat Islam).
Oleh raja-raja Bali pada sekitar abad ke-18-19, kelompok-kelompok muslim ini diberikan untuk menempati lahan-lahan kosong. Ini merupakan kompensasi dari bantuan yang diberikan kelompok-kelompok muslim itu dalam upaya mempertahankan kekuasaan para raja-raja itu. Karena itulah, banyak ditemukan perkampungan-perkampungan khusus muslim di Bali.
Misalnya, perkampungan Islam di Desa Pegayaman, Buleleng, Kampung Bugis di Serangan, Kampung Gelgel di Klungkung, Kampung Kusamba di Klungkung dan masih banyak lagi yang lain. Jika ditelusuri, leluhur kampung-kampung muslim itu pasti memiliki hubungan mesra dengan raja-raja yang pernah mengayominya.
Baca Juga: Liburan Ke Bali, Jangan Lupa Berhenti Sejenak Di Taman Satria Gatotkaca