Bali, Sonora.ID - Gusti Ayu Made Rai atau Raden Ayu Siti Khotijah adalah putri raja Bali yang memeluk Islam. Cerita awal sang Raden Ayu Pemecutan, seperti cerita legenda putri-putri keraton di seluruh nusantara. Sang putri terkenal cantik dan disayang hingga menjadi kembang kerajaan. Tak sedikit para pembesar kerajaan di Bali yang ingin meminang sang putri.
Namun musibah datang, sang putri mengidap penyakit kuning. Raja Pemecutan berusaha untuk menyembuhkan sang anak kesayangan, namun tak berhasil menyembuhkan sang putri. Hingga Raja Pemecutan membuat sebuah sayembara yang bisa menyembuhkan penyakit sang putri, jika perempuan akan diangkat jadi anak raja dan jika laki-laki akan di kawinkan dengan Raden Ayu Pemecutan.
Kabar tentang sayembara ini terdengar oleh seorang ulama di Yogyakarta dan mempunyai seorang anak didik yang jadi raja di Madura yaitu Cakraningrat IV. Ulama yang dalam buku Sejarah keramat Raden Ayu Pemecutan disebut Syech ini memanggil Cakraningrat IV ke Yogyakarta untuk mengikuti sayembara tersebut.
Baca Juga: Gempa 4,8 SR Guncang Karangasem, Jajaran BPBD bersama TNI Turun ke Lokasi Terisolir
Raja Madura ini berangkat ke Bali, hasilnya dapat ditebak Raden Ayu Pemecutan dapat disembuhkan oleh Cakraningrat IV. Siapa sih sebenarnya Cakraningrat IV ? Pangeran dari Madura ini bernama asli Susroadiningrat, dia mendapatkan tahta kerajaan dari kakaknya Cakraningrat III. Cakraningrat IV adalah seorang pemimpin Madura Barat (bertahta 1718-1746). Seperti pendahulunya, dia menolak kekuasaan raja Mataram.
Dia lebih ingin berada di bawah pelindungan VOC, sesuatu yang ditolak VOC. Di samping itu, Cakraningrat secara pribadi membenci Amangkurat IV, raja Mataram (bertahta 1719-1726), dan menolak untuk sowan ke kraton Kartasura.
Dia juga takut akan diracuni bila ke kraton. Tahun 1726 Amangkurat meninggal, digantikan puteranya yang mengambil gelar Pakubuwana II, yang berumur 16 tahun (bertahta 1726-1749). Hubungan antara Mataram dan Cakraningrat membaik, dan Cakraningrat menikahi salah satu adik Pakubuwana. Hubungan antara Cakraningrat dan ibu mertuanya, Ratu Amangkurat, menjadi akrab.Di akhir tahun 1730-an, kekuasaan Cakraningrat di Jawa Timur meningkat dan mengancam kedudukan orang Bali di daerah Blambangan.
Baca Juga: Ditemukan Berpelukan, Gempa Karangasem Akibatkan 3 Orang Meninggal Dunia
Jika benar berita sayembara itu didapat dari Yogyakarta, maka peristiwa sayembara terjadi setelah Amangkurat meninggal (1726), karena sebelum tahun itu Cakraningrat IV tidak pernah datang ke Yogyakarta.
Setelah sang putri sembuh, lalu Raden Ayu Pemecutan dan Cakraningrat IV dikawinkan. Tentunya dalam perkawinan muslim, keuanya harus beragama Islam, Raden Ayu Pemecutan pun jadi mualaf dan bergelar Raden Ayu Siti Khotijah. Sang putri lalu di boyong ke Madura oleh Cakraningrat IV.
Suatu ketika Raden Ayu pulang ke Bali beserta 40 orang pegiring dan pengawal. Cakraningrat IV memberikan bekal berupa guci, keris dan sebuah pusaka berbentuk tusuk konde yang diselipkan di rambut sang putri. Sesampainya di kerajaan Pamecutan, Siti Khotijah disambut dengan riang gembira.
Namun, kala itu tidak ada yang mengetahui bahwa sang putri telah memeluk agama Islam. Suatu hari ketika ada suatu upacara Meligia atau Nyekah yaitu upacara Atma Wedana yang dilanjutkan dengan Ngelingihan (Menyetanakan) Betara Hyang di Pemerajan (tempat suci keluarga) Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat kelahirannya.
Baca Juga: Gempa di Bali 4,8 SR, Hasil Analisa BMKG: Dipicu Aktivitas Sesar Lokal
Pada suatu hari saat sandikala (menjelang petang) di Puri, Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Kotijah menjalankan persembahyangan (ibadah sholat maghrib) di Merajan Puri dengan menggunakan Mukena (Krudung).
Ketika itu salah seorang Patih di Puri melihat hal tersebut. Para patih dan pengawal kerajaan tidak menyadari bahwa Puri telah memeluk islam dan sedang melakukan ibadah sholat. Menurut kepercayaan di Bali, bila seseorang mengenakan pakaian atau jubah serba putih, itu adalah pertanda sedang melepas atau melakukan ritual ilmua hitam (Leak). Hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan sebagai penganut aliran ilmu hitam.
Akibat ketidaktahuan pengawal istana, ‘keanehan’ yang disaksikan di halaman istana membuat pengawal dan patih kerajaan menjadi geram dan melaporakan hal tersebut kepada Raja. Mendengar laporan Ki Patih tersebut, Sang Raja menjadi murka. Ki Patih diperintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti Khotijah.
Baca Juga: Total RP 1,5 Miliar, Gubernur Koster Serahkan Beasiwa untuk 1.501 Siswa Berprestasi
Raden Ayu Siti Khotijah dibawa ke kuburan areal pemakaman yang luasnya 9 Ha. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya 'aku sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini.
Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang sholat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak." Demikian kata Siti Khotijah.
Raden Ayu berpesan kepada Sang patih "jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam, karena senjata tajam tak akan membunuhku. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih serta dililitkan dengan benang tiga warna, merah, putih dan hitam (Tri Datu), tusukkan ke dadaku.
Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut kramat".
Baca Juga: Penggunaan Masker Jadi Budaya Baru Wajib Diterapkan
Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badanya keluar asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Peristiwa itu sangat mengejutkan para patih dan pengawal. Perasaan dari para patih dan pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat menyesal dengan keputusan belia.
Jenazah Raden Ayu dimakamkan di tempat tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut kramat, sesuai dengan permintaan beliau menjelang dibunuh. Untuk merawat makam kramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.
Demikian kisah sang putri yang saya kutip dari beberapa sumber, ada beberapa simpulan dari cerita diatas: Bali, sangat mempertahankan agama, budaya dan tradisinya. Hingga Proses Islamisasi sepertinya tak pernah sampai kesana, kuat dugaan saya keikutan Cakraningrat IV dalam sayembara merupakan salah satu usaha Islamisasi.
Sikap teguh untuk tidak akan meninggalkan Hindu ini juga terus dipegang raja-raja Bali sesudahnya termasuk ketika Bali pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Meski begitu, bukan berarti Bali tertutup dari pengaruh budaya luar. Bali sangat terbuka terhadap datangnya saudagar-saudagar muslim dan mereka disebut sebagai nyama selam (saudara dari umat Islam).
Oleh raja-raja Bali pada sekitar abad ke-18-19, kelompok-kelompok muslim ini diberikan untuk menempati lahan-lahan kosong. Ini merupakan kompensasi dari bantuan yang diberikan kelompok-kelompok muslim itu dalam upaya mempertahankan kekuasaan para raja-raja itu. Karena itulah, banyak ditemukan perkampungan-perkampungan khusus muslim di Bali.
Misalnya, perkampungan Islam di Desa Pegayaman, Buleleng, Kampung Bugis di Serangan, Kampung Gelgel di Klungkung, Kampung Kusamba di Klungkung dan masih banyak lagi yang lain. Jika ditelusuri, leluhur kampung-kampung muslim itu pasti memiliki hubungan mesra dengan raja-raja yang pernah mengayominya.
Baca Juga: Liburan Ke Bali, Jangan Lupa Berhenti Sejenak Di Taman Satria Gatotkaca