Peneliti INDEF: Transisi Energi EBT Lebih Baik Alon-Alon Asal Selamat

21 Oktober 2021 20:26 WIB
Webinar Energi Terbarukan: Sudut Pandang Supply-Demand, Kterjangkauan Tarif, Reliability dan Akses
Webinar Energi Terbarukan: Sudut Pandang Supply-Demand, Kterjangkauan Tarif, Reliability dan Akses ( )

Sonora ID - Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development INDEF Abra Talattov menyampaikan kekhawatirannya akan kemampuan demand Indonesia dalam mengikuti supply skema transisi Energi baru dan Terbarukan (EBT) yang direncanakan oleh pemerintah.

“Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 79 tahun 2014, dijelaskan bahwa kita punya target (EBT) 23% pada tahun 2025. Tetapi, disini secara spesifik disebutkan “sepanjang keekonomiannya terpenuhi”” jelas Abra dalam Webinar “Energi Terbarukan: Sudut Pandang Supply-Demand, Keterjangkauan Tarif, Reliability dan Akses,” Kamis (21/10/21)

Menurutnya, pemerintah tidak boleh menutup mata atas kapasitas yang dimiliki negara dan PLN dalam mendukung transisi energi EBT.

“Konsensus global kita hormati, tetapi national security dan interest tetap harus menjadi landasan utama dalam menyusun strategi jangka menengah dan jangka panjang,” jelas Abra. “Kita tidak ingin cepat tapi tidak selamat, mending Alon Alon asal selamat”

Strategi transisi dia harapkan tidak berdasarkan ambisi besar belaka melainkan sesuai dengan kondisi dan situasi sekarang.

Dalam 9 tahun terakhir, Indonesia nyatanya sudah mengalami over surplus dengan rata rata 25%.

“Jika menggunakan asumsi BPP tenaga listrik tahun lalu sebesar Rp 1.348 per kWh, maka over supply tahun 2020 mencapai 120 triliun. Ini menjadi potensi pemborosan,” ungkapnya.  

 Baca Juga: Wamenkeu: Energi Baru Bukan Lagi Menjadi Pilihan, tapi Masa Depan

Surplus ini merupakan hasil dari program 35000 MW (30%) yang sudah sudah beroperasi.

Presentasi oversupply tersebut tentunya akan semakin besar ketika sudah memasukan tambahan sekitar 49-50%

Menurut data EDM, 20 dari 22 wilayah Indonesia (kecuali Flores dan Bangka) sudah memiliki cadangan energi yang memadai atau kurang lebih 20%.

Jika dibandingkan dengan presentasi pemakaian EBT dalam bauran energi pada wilayah Amerika (12%) Eropa (14%) dan Inggris (14%), Indonesia sebenarnya masuk dalam kategori progresif.

Ia menjelaskan bahwa beberapa dari negara tersebut terpaksa kembali menggunakan bahan bakar fosil ketika mengalami krisis energi seperti intermittent.

“Di negara seperti Cina dan India, karena mereka tahu bahwa energi fosil seperti batubara punya kemampuan memecahkan krisis energi jangka pendek, mereka justru melakukan importasi yang cukup masif dan agresif,” Ungkap Abra. “Kita jangan terlena karena harga batu bara sedang melonjak tinggi lalu menghabiskan begitu saja export batubara kita.”

Menurutnya, Indonesia harus mencoba melihat pendekatan dekarbonisasi yang dilakukan Amerika demi mengoptimalkan energi fosil untuk mendukung inovasi dan teknologi pengembangan EBT.

Baca Juga: Menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) Wamenkeu Beberkan Tantangan yang Harus Diatasi!

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
92.0 fm
98.0 fm
102.6 fm
93.3 fm
97.4 fm
98.9 fm
101.1 fm
96.7 fm
98.9 fm
98.8 fm
97.5 fm
91.3 fm
94.4 fm
102.1 fm
98.8 fm
95.9 fm
97.8 fm
101.1 fm
101.1 Mhz Fm
101.2 fm
101.8 fm