Jika dibandingkan dengan B2B yang strategi pemasarannya lebih personal atau tidak semasif B2C, investor menilai bahwa risiko pendanaannya lebih rendah. Modal yang dimiliki perusahaan tidak perlu tersedot pada satu kanal yakni pemasaran.
Tren dan keuntungan yang lebih stabil
Satu hal yang tidak kalah menguntungkan bagi perusahaan B2B, yakni perusahaan-perusahaan yang menjadi kliennya akan setia menggunakan produknya untuk waktu yang lama. Dalam kata lain, kliennya tidak mudah untuk pindah kepada perusahaan lainnya.
Hal ini berkaitan dengan siklus transaksi pada perusahaan B2B yang lebih kompleks. Mulai dari pendekatan hingga proses sosialisasi penggunaan produknya pada perusahaan yang menjadi kliennya, siklus ini akan menghabiskan banyak waktu juga tenaga.
Baca Juga: Lump Sum Strategy vs Dollar Cost Averaging, Mana yang Lebih Baik? Ini Penjelasannya!
Di luar itu, switching cost yang cukup besar apabila klien memilih untuk berganti perusahaan penyedia produk atau layanan, turut menjadi pertimbangan. Sebagian dari perusahaan B2B memiliki karakteristik produk atau layanan yang menyesuaikan kebutuhan kliennya (customizable service).
Maka, ketika klien sudah terbiasa dengan sistem atau produk tersebut, mereka akan berpikir dua kali untuk menggunakan produk dari penyedia lainnya. Dengan keadaan seperti ini, dapat disimpulkan bahwa tren dan keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan B2B cenderung lebih stabil dibandingkan perusahaan B2C.
Dengarkan bincang-bincang mengenai topik ini secara lebih mendalam di episode ke-6 season tiga OBSESIF yang bertajuk Juvenco Pelupessy: How Much Traction Is A “Good” Traction? Selengkapnya, Juvenco berbagi mengenai strategi menyusun traksi yang optimal, tantangan bagi perusahaan B2B, hingga lima prinsip fundamental yang perlu diketahui pendiri perusahaan rintisan.
Klik ikon di bawah atau akses https://bit.ly/S3E6Obsesif_A untuk mendengarkan dan belajar bersama!
Penulis: Intania Ayumirza