Sonora.ID - Pandemi Covid-19 memberikan dampak relatif besar terhadap berbagai lini kehidupan. Ketika keterbatasan menghalangi efisiensi dalam berkegiatan, kehadiran layanan yang inovatif dinilai sebagai jalan alternatif terhadap persoalan tersebut.
Beberapa tahun belakangan, perusahaan rintisan berbasis teknologi (tech startup) kian lahir dan bertumbuh dalam negeri. Tidak hanya menyasar pasar pelanggan dengan model Business to Customer (B2C), model Business to Business (B2B) pun turut bersaing.
Meningkatnya permintaan terhadap layanan yang disediakan perusahaan B2B tidak mengesampingkan fakta bahwa semenjak pandemi berlangsung, operasional bisnis membutuhkan alat yang mampu menciptakan konektivitas antara komponen-komponen yang terhalang oleh keterbatasan.
Baca Juga: Siap Pitching ke Investor? Pastikan Kamu Menghindari Kesalahan Fatal Ini!
Menariknya, perusahaan B2B disebut-sebut sedang naik daun di kalangan investor. Apa yang melandasi terjadinya fenomena ini?
Principal Skystar Capital, Juvenco Pelupessy, dalam siniar (podcast) OBSESIF yang berjudul Juvenco Pelupessy: How Much Traction Is A “Good” Traction? Membagikan pendapatnya terkait daya pikat perusahaan B2B. Sebagai informasi, Skystar Capital adalah pemodal ventura yang berfokus pada pendanaan awal perusahaan rintisan berbasis teknologi.
Risiko yang relatif rendah
Dari segi pemasaran, perusahaan teknologi B2C patut memiliki anggaran yang cukup besar dalam upaya meraih pengguna untuk menggunakan layanannya. Anggaran ini biasa disebut CAC atau Customer Acquisition Cost.
Tidak jarang, kita menemui berbagai perusahaan ini melakukan strategi ‘bakar uang’ dengan cara memberikan subsidi berupa potongan harga, pembebasan biaya layanan dalam waktu yang terbatas, penghapusan biaya ongkos kirim, dan sebagainya.
Strategi demikian dinilai cukup berisiko karena modal yang dihabiskan umumnya memiliki nilai yang lumayan. Sementara, pada kenyataannya tidak semua perusahaan teknologi mampu mempertahankan pengguna untuk menggunakan layanannya di kemudian hari pasca momen bakar uang tersebut.
Jika dibandingkan dengan B2B yang strategi pemasarannya lebih personal atau tidak semasif B2C, investor menilai bahwa risiko pendanaannya lebih rendah. Modal yang dimiliki perusahaan tidak perlu tersedot pada satu kanal yakni pemasaran.
Tren dan keuntungan yang lebih stabil
Satu hal yang tidak kalah menguntungkan bagi perusahaan B2B, yakni perusahaan-perusahaan yang menjadi kliennya akan setia menggunakan produknya untuk waktu yang lama. Dalam kata lain, kliennya tidak mudah untuk pindah kepada perusahaan lainnya.
Hal ini berkaitan dengan siklus transaksi pada perusahaan B2B yang lebih kompleks. Mulai dari pendekatan hingga proses sosialisasi penggunaan produknya pada perusahaan yang menjadi kliennya, siklus ini akan menghabiskan banyak waktu juga tenaga.
Baca Juga: Lump Sum Strategy vs Dollar Cost Averaging, Mana yang Lebih Baik? Ini Penjelasannya!
Di luar itu, switching cost yang cukup besar apabila klien memilih untuk berganti perusahaan penyedia produk atau layanan, turut menjadi pertimbangan. Sebagian dari perusahaan B2B memiliki karakteristik produk atau layanan yang menyesuaikan kebutuhan kliennya (customizable service).
Maka, ketika klien sudah terbiasa dengan sistem atau produk tersebut, mereka akan berpikir dua kali untuk menggunakan produk dari penyedia lainnya. Dengan keadaan seperti ini, dapat disimpulkan bahwa tren dan keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan B2B cenderung lebih stabil dibandingkan perusahaan B2C.
Dengarkan bincang-bincang mengenai topik ini secara lebih mendalam di episode ke-6 season tiga OBSESIF yang bertajuk Juvenco Pelupessy: How Much Traction Is A “Good” Traction? Selengkapnya, Juvenco berbagi mengenai strategi menyusun traksi yang optimal, tantangan bagi perusahaan B2B, hingga lima prinsip fundamental yang perlu diketahui pendiri perusahaan rintisan.
Klik ikon di bawah atau akses https://bit.ly/S3E6Obsesif_A untuk mendengarkan dan belajar bersama!
Penulis: Intania Ayumirza