Ia menambahkan bahwa siswa sering kali menunjukkan protes melalui karya di majalah dinding (mading) sekolah. Namun, selang beberapa waktu, tidak jarang mereka menemui karya tersebut telah dirusak oleh pihak tertentu.
“Kita tuh sering protes itu di mading, tapi tiba-tiba dipasang pagi, sorenya udah enggak ada. Disobek,” tutur mereka.
VoB merasa bahwa pengalaman seperti ini kemungkinan besar tidak hanya terjadi pada mereka, melainkan juga di lingkup pendidikan lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk menuangkan keresahan tersebut di lagu “School Revolution”.
Menariknya, ketertarikan mereka pada musik justru hadir dari pengalaman selama di sekolah. Marsya, Sitti, dan Widi awalnya bergabung pada ekstrakurikuler teater pada tahun 2014.
Saat mengulik drama musikal, mereka menemukan bahwa musik adalah hal yang paling membuat mereka nyaman. Musik memberi mereka ruang untuk berekspresi dan mengaktualisasi diri.
“Jadi, kita bertiga kan korban ini... aturan-aturan kaku. ‘Enggak boleh begini, enggak boleh begitu’. Tiba-tiba ketemu musik yang ‘udahlah terserah kalian mau ngapain aja silakan’,” terang mereka.
Aturan-aturan kaku yang mereka maksud ialah larangan bermain musik ‘keras’ bagi perempuan, anggapan bahwa perempuan sebaiknya menetap di rumah, hingga yang berkaitan dengan identitas hijab yang melekat dengan ketiga anggota band ini.
Baca Juga: Giring Ganesha: dari Musisi, Kini Bergelut di Politik