Sonora.ID – Voice of Baceprot (VoB) adalah grup musik metal yang beranggotakan tiga perempuan berhijab asal Garut.
Grup musik ini lantang menyuarakan isu-isu, seperti pendidikan, lingkungan, hingga kesetaraan gender. Para personelnya mengaku bahwa inspirasi mereka dalam bermusik lahir dari pengalaman pribadi.
Single perdana mereka, yakni “School Revolution” terinspirasi dari pengalaman selama menjadi siswa di sekolah. Salah satu hal yang disoroti adalah metode pengajaran dan ketidakdisiplinan di lingkungan sekolah.
“Dulu tuh kita sering... Misal, guru jarang masuk kelas, jadi dia kayak ‘nyatet nih’. Itu kan nyatet, misal satu bab gitu dicatet. Jadi kan murid lomba-lombaan siapa yang nyatet; cepet-cepetan nyatet. Tapi kita tuh enggak tahu, apa yang kita catet itu apa,” terang Marsya, vokalis-gitaris VoB.
Metode pengajaran yang mereka nilai kurang efisien itu semakin diperburuk dengan ketidakhadiran guru di pertemuan-pertemuan berikutnya.
Paksa mimpi yang tak satupun ku mengerti, terlempar kepala dipaksa pintar, terdampar moral digoda bingar, begitu bunyi lirik “School Revolution”.
Selain itu, menurut mereka terdapat hal sederhana dan sering dianggap sepele, seperti perbedaan perlakuan antara guru dan siswa ketika melakukan kesalahan yang sama. Hal itu ternyata menjadi sesuatu yang membekas di benak mereka.
“Kayak datang telat, barengan sama guru yang telat juga, kita dihukum keliling dulu. Gurunya melenggang bebas gitu, masuk aja,” ujar Marsya.
Baca Juga: Irene Sukandar dan Pelajaran Hidup dari Permainan Catur
Ia menambahkan bahwa siswa sering kali menunjukkan protes melalui karya di majalah dinding (mading) sekolah. Namun, selang beberapa waktu, tidak jarang mereka menemui karya tersebut telah dirusak oleh pihak tertentu.
“Kita tuh sering protes itu di mading, tapi tiba-tiba dipasang pagi, sorenya udah enggak ada. Disobek,” tutur mereka.
VoB merasa bahwa pengalaman seperti ini kemungkinan besar tidak hanya terjadi pada mereka, melainkan juga di lingkup pendidikan lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk menuangkan keresahan tersebut di lagu “School Revolution”.
Menariknya, ketertarikan mereka pada musik justru hadir dari pengalaman selama di sekolah. Marsya, Sitti, dan Widi awalnya bergabung pada ekstrakurikuler teater pada tahun 2014.
Saat mengulik drama musikal, mereka menemukan bahwa musik adalah hal yang paling membuat mereka nyaman. Musik memberi mereka ruang untuk berekspresi dan mengaktualisasi diri.
“Jadi, kita bertiga kan korban ini... aturan-aturan kaku. ‘Enggak boleh begini, enggak boleh begitu’. Tiba-tiba ketemu musik yang ‘udahlah terserah kalian mau ngapain aja silakan’,” terang mereka.
Aturan-aturan kaku yang mereka maksud ialah larangan bermain musik ‘keras’ bagi perempuan, anggapan bahwa perempuan sebaiknya menetap di rumah, hingga yang berkaitan dengan identitas hijab yang melekat dengan ketiga anggota band ini.
Baca Juga: Giring Ganesha: dari Musisi, Kini Bergelut di Politik
“Kita justru makin sadar bahwa ternyata ada hal yang bisa dibebaskan dan ada hal yang dibatasi. Sebelumnya semua kan dibatasi, terus tiba-tiba semua dibebaskan. Ada orang yang berpersepsi bahwa metal tuh ya bebas gitu. Semua dibebaskan dan kita enggak merasa bahwa itu benar.”
Menurut mereka, persepsi bebas setiap orang berbeda-beda; musik adalah ruang yang akhirnya menyediakan kebebasan tersebut.
Tidak seperti mading yang bertahan kurang dari sehari, suara dan opini lewat musik diharapkan dapat bertahan hingga waktu yang lama dengan resonansi yang lebih kuat pula.
Perbincangan ini dikutip dari episode ke-14 siniar BEGINU musim kedua yang bertajuk “Voice of Baceprot dan Suara-suara Berisik yang Disepelekan”.
Selengkapnya, Marsya, Siti, dan Widi berbincang dengan Pemimpin Redaksi Kompas.com, Wisnu Nugroho, tentang sosok guru bimbingan konseling yang kini menjadi manajer mereka, Garut, pindah ke Jakarta, feminisme, hingga isu lingkungan yang disuarakan lewat musik metal.
Dengarkan episodenya di Spotify dengan cara klik ikon di bawah atau mengunjungi https://bit.ly/S2E14Beginu!
Penulis: Intania Ayumirza