Sonora.ID - Negara membutuhkan kerja sama dengan negara lain untuk memenuhi kebutuhan akan keutuhan negara tersebut, terlebih ketika suatu negara berdekatan dengan negara lainnya, maka kerja sama pun perlu dilakukan.
Pasalnya, salah satu masalah yang kerap muncul antara negara yang berdekatan adalah terkait dengan perbatasan atau wilayah kedua negara tersebut.
Dalam perbincangan bersama dengan Radio Sonora FM, Kepala Badan Pengelola Perbatasan dan Urusan Luar Negeri Provinsi Papua, Susana Wanggai menyatakan bahwa pada dasarnya kerja sama perbatasan menjadi hal yang penting.
Tetapi dalam praktiknya kerja sama ini tidak semudah yang dipikirkan.
Dalam hal kerjasama perbatasan Republik Indonesia (RI) dan Republik Demokratik Papua Nugini (PNG), Pemerintah Indonesia secara reguler atau periodik, memiliki program untuk melakukan kegiatan kerja sama perbatasan antar negara dalam kerangka forum Joint Border Committee (JBC).
“Perbatasan darat adalah batas antara kedua Negara (Indonesia dengan negara tetangga) yang berada di daratan dan berbatasan langsung (tidak dipisahkan oleh perairan). Terdapat 3 (tiga) lokasi perbatasan darat di Indonesia, yaitu perbatasan dengan Negara Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste,” ungkap Suzana memaparkan.
Pada dasarnya, perbatasan darat antara dua negara ini sudah ditetapkan berdasarkan Hukum Internasional Uti Possidetis Juris, yang artinya suatu negara mewarisi wilayah penjajahnya.
Meski sudah ditetapkan, kedua negara masih perlu untuk menegaskan kembali atau merekonstruksi pilar batas di sepanjang batas negara yang telah ditetapkan tersebut.
Baca Juga: Presiden Jokowi Minta Seluruh Polda di Wilayah Perbatasan Antisipasi Masuknya Varian Omicron
Tak bisa dikatakan mudah, ada beberapa hal dan pertimbangan yang terjadi pada saat rekonstruksi pilar batas ini dilakukan.
Dalam kesempatan yang sama, pihaknya juga menjelaskan bahwa rekonstruksi pilar batas ini dipengaruhi oleh faktor keamanan dan kondisi geografis.
“Demarkasi atau rekonstruksi pilar batas tidaklah semudah yang diperkirakan. Isu keamanan dan kondisi geografis menjadi faktor penentu dalam proses demarkasi batas darat,” sambungnya menjelaskan.
Ditambah lagi, kondisi kondisi internal dari Pemerintah PNG yang merupakan negara least development juga turut mempengaruhi proses kerjasama dalam rangka Survei Demarkasi dan pemetaan.
Pasalnya, kondisi tersebut membuat pihak Papua Nugini kerap kali kekurangan dana serta tidak memiliki Sumber Daya Manusia yang memadai.
Menghadapi proses dilakukannya demarkasi atau rekonstruksi pilar batas, Suzana menegaskan bahwa hingga saat ini kerja sama perbatasan Indonesia dan PNG ditangani melalui forum Joint Border Committee.
“Kerjasama Perbatasan Indonesia dengan Negara Tetangga kita PNG, selama ini ditangani melalui Forum Joint Border Committee, yang diketuai oleh Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri,” jelas Suzana menambahkan. (*Adv)
Baca Juga: Perintah Wali Kota, Swab Acak Kini Sasar Seluruh Tempat Keramaian