Dasar hukum kerjasama perbatasan Republik Indonesia-Papua Nugini dalam kerangka Joint Border Committee ini adalah Basic Agreement on Border Arrangement RI-PNG, yang terakhir diperbarui pada tahun 2013, yang akan segera berakhir tahun 2023.
Sebelum dilakukan pertemuan JBC, terlebih dahulu digelar sub-sub Committee di bawah koordinasi JBC untuk membahas kegiatan kerja sama perbatasan sesuai dengan tupoksi dari masing-masing Sub Committee.
Setelah pertemuan tersebut, baru forum JBC digelar, dan kemudian hasilnya dilaporkan dalam forum Joint Ministerial Commission (JMC) antar Menter Luar Negeri.
Kemudian JMC akan melapor pada Kepala Negara dalam Forum Kerja Sama Bilateral RI-PNG.
“Pertemuan terakhir JBC ini dilaksanakan pada tahun 2019 di Lae, Papua Nugini, dengan hasil cukup baik, salah satunya adalah penandatanganan MoU on Densification of Boundary Pillars dan penandatanganan Declaration on Measurement of 52 MM using WGS 1984, serta kesepakatan di bidang lainnya meliputi antara lain Perdagangan Perbatasan, Lintas Batas, Keamanan Perbatasan, Survei dan Demarkasi, dan Sosial Budaya. Sedangkan untuk JMC, terakhir sidang yaitu tahun 2015,” jelas Suzana.
Berkaca pada tahap yang banyak dan tak mudah, pihaknya menegaskan bahwa memang perlu adanya kecermatan, kesabaran, kehati-hatian, strategi, dan unsur pendukung dalam kerja sama perbatasan antara Indonesia dan PNG tersebut.
Agenda terdekat dalam kerja sama tersebut adalah pertemuan SBBI yang akan difokuskan untuk membahas isu ekonomi dan kesehatan.
Suzana menegaskan bahwa kunci dalam kerja sama adalah koordinasi yang jelas dan kopak.
“Kata kunci dalam kerjasama ini adalah koordinasi, sekali lagi Koordinasi yang erat antar Kementerian/Lembaga Non Kementerian. Kita harus kompak,” tambah Suzana menegaskan. (*Adv)
Baca Juga: Dilakukan secara Reguler, Pentingnya Penegasan Garis Batas Indonesia dengan Negara Tetangga