Sonora.ID - Sama halnya dengan manusia yang hidup berdampingan dengan manusia lainnya, negara juga demikian. Karena semua negara yang ada di dunia pasti berdampingan dengan negara lain yang ada di sekitar negara tersebut.
Itu sebabnya ada hal-hal yang perlu disesuaikan antara negara-negara yang jaraknya berdekatan, khususnya terkait dengan perbatasan wilayah.
Hal yang sama terjadi pada Indonesia dengan Papua Nugini yang memang memiliki perbatasan darat yang sebenarnya sudah ditetapkan berdasarkan Hukum Internasional Uti Possidetis Juris, yang artinya suatu negara mewarisi wilayah penjajahnya.
Namun, kedua negara masih perlu melakukan penegasan dan rekontruksi pilar batas sebagai bentuk dari kerja sama perbatasan antar kedua negara tersebut.
Dalam perbincangan Radio Sonora FM dengan Kepala Badan Pengelola Perbatasan dan Urusan Luar Negeri Provinsi Papua, Suzana Wanggai menegaskan bahwa kerja sama perbatasan RI dan PNG selama ini ditangani melalui Forum Joint Border Committee.
“Kerjasama Perbatasan Indonesia dengan Negara Tetangga kita PNG, selama ini ditangani melalui Forum Joint Border Committee, yang diketuai oleh Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri,” jelas Suzana.
Apa peran Joint Border Committee (JBC)?
“JBC ini memiliki organ Sub-Committee, dibawahnya, yaitu: forum Technical Sub-Committee on Survey Demarcation dan Mapping (TSC SDM) yang diketuai oleh Direktur Wilayah Pertahanan, Kementerian Pertahanan, Forum Sub Committee on Security Matters (SC SM) yang diketuai oleh WAASOPS Panglima TNI, Forum Technical Sub Committee on Trade and Investment (TSC TI) yang diketuai oleh Direktur Perundingan Bilateral dan yang terakhir adalah forum Border Liaison Meeting (BLM), yang diketuai oleh Wakil Gubernur Papua,” sambungnya memaparkan.
Baca Juga: Mengenal Sengketa Batas Negara ketika Dua Negara Saling Klaim
Dasar hukum kerjasama perbatasan Republik Indonesia-Papua Nugini dalam kerangka Joint Border Committee ini adalah Basic Agreement on Border Arrangement RI-PNG, yang terakhir diperbarui pada tahun 2013, yang akan segera berakhir tahun 2023.
Sebelum dilakukan pertemuan JBC, terlebih dahulu digelar sub-sub Committee di bawah koordinasi JBC untuk membahas kegiatan kerja sama perbatasan sesuai dengan tupoksi dari masing-masing Sub Committee.
Setelah pertemuan tersebut, baru forum JBC digelar, dan kemudian hasilnya dilaporkan dalam forum Joint Ministerial Commission (JMC) antar Menter Luar Negeri.
Kemudian JMC akan melapor pada Kepala Negara dalam Forum Kerja Sama Bilateral RI-PNG.
“Pertemuan terakhir JBC ini dilaksanakan pada tahun 2019 di Lae, Papua Nugini, dengan hasil cukup baik, salah satunya adalah penandatanganan MoU on Densification of Boundary Pillars dan penandatanganan Declaration on Measurement of 52 MM using WGS 1984, serta kesepakatan di bidang lainnya meliputi antara lain Perdagangan Perbatasan, Lintas Batas, Keamanan Perbatasan, Survei dan Demarkasi, dan Sosial Budaya. Sedangkan untuk JMC, terakhir sidang yaitu tahun 2015,” jelas Suzana.
Berkaca pada tahap yang banyak dan tak mudah, pihaknya menegaskan bahwa memang perlu adanya kecermatan, kesabaran, kehati-hatian, strategi, dan unsur pendukung dalam kerja sama perbatasan antara Indonesia dan PNG tersebut.
Agenda terdekat dalam kerja sama tersebut adalah pertemuan SBBI yang akan difokuskan untuk membahas isu ekonomi dan kesehatan.
Suzana menegaskan bahwa kunci dalam kerja sama adalah koordinasi yang jelas dan kopak.
“Kata kunci dalam kerjasama ini adalah koordinasi, sekali lagi Koordinasi yang erat antar Kementerian/Lembaga Non Kementerian. Kita harus kompak,” tambah Suzana menegaskan. (*Adv)
Baca Juga: Dilakukan secara Reguler, Pentingnya Penegasan Garis Batas Indonesia dengan Negara Tetangga