Sonora.ID – Sebagai manusia, hampir mustahil jika kita tidak pernah merasakan sedih, kecewa, malu, marah, atau emosi negatif lainnya. Emosi-emosi ini sering kali didegradasi dan diasosiasikan dengan keburukan.
Oleh karena itu, kemudian muncul kata-kata seperti “jangan menangis”, “stop mengeluh, itu belum seberapa”, “ayo coba lihat sisi positifnya”, dan sebagainya yang sering kita dengar dari diri sendiri atau lingkungan sekitar.
Kalimat-kalimat itu memang bertujuan baik—untuk menenangkan, memberi semangat—tapi, tahukah Anda bahwa imbasnya tidak sebaik yang dibayangkan?
Baca Juga: Selamat Hari Ibu, Ini Zodiak yang Paling Penyayang dan Keibuan
Tanpa disadari, kalimat-kalimat yang terkesan positif tersebut dapat menjadi ‘racun’ bagi orang yang menerimanya. Fenomena ini disebut sebagai toxic positivity.
Mengutip penerangan dari Right as Rain by UW Medicine, toxic positvity adalah kondisi di mana seseorang mengabaikan emosi negatif, lantas mengambil jalan yang salah dalam upaya menghibur hati karena tidak melibatkan empati.
Sederhananya, tak peduli betapa sulit situasi yang dialami seseorang, ia dianjurkan atau dipaksa untuk tetap berpikir positif.
Baca Juga: 6 Ciri Kamu Berada di Toxic Relationship, Segera Perbaiki atau Akhiri!
Toxic positivity hadir dari orang-orang yang sejatinya tak begitu paham cara merespons kondisi sulit yang dialami oleh dirinya sendiri maupun orang lain.
Dorongan untuk selalu menunjukkan bahwa diri kita baik-baik saja, tanpa kita sadari, dapat terlihat dari cara kita menjawab pertanyaan “apa kabar?”.
Masih banyak orang yang tidak nyaman untuk mengungkap jawaban selain “baik-baik saja” kendati bertolak belakang dengan kondisi hati dan pikirannya.
Jelas bahwa tidak semua keadaan yang kita hadapi membuat kita senantiasa baik-baik saja.
Gagal mencapai tujuan, putus hubungan, bahkan ditinggal selamanya oleh kerabat terdekat, tidak akan pernah menjadi momen yang tepat untuk menghadirkan kepositifan.
“Itu yang namanya toxic positivity... Bahwa kita harus selalu positif, no matter what, apapun kondisinya,” ujar Arvan Pradiansyah, motivator kepemimpinan dan kebahagiaan, di serial Inspiration of Smart Happiness episode 35 podcast Smart Inspiration.
Baca Juga: 5 Ciri Lingkungan Kerja Toxic, Segera Atasi Sebelum Makin Terjebak
Baca Juga: Ketika Produktif Jadi Toxic Productivity, Kok Bisa?
Semua Perasaan Harus Dirasa
Sama seperti emosi bahagia, damai, cinta, dan lain-lain yang sering disebut sebagai emosi positif; emosi marah, sedih, kecewa, malu, dan emosi negatif lainnya pun perlu dirasakan.
Motivator yang juga merupakan penulis buku ini menyebut, jika ada perasaan yang tidak dirasakan, maka indikator di dalam diri kita ada yang mati.
Ia menganalogikan manusia sebagai mobil dengan indikator yang secara aktif memberi tanda semisal bensin habis, lampu sen tidak menyala, sabuk pengaman belum terpasang, dan lain-lain.
Baca Juga: 4 Zodiak Ini Dikenal Paling Toxic, Semoga Zodiakmu Gak Termasuk!
Tanpa lampu indikator tersebut, maka bisa jadi kita tidak mengetahui potensi kerusakan mobil atau bahaya dalam berkendara.
“Mobil sebagus apapun, mobil sekeren apapun, pasti suatu ketika akan ada indikatornya yang menyala. Indikator yang menyala itu bukan menunjukkan kekurangan mobil itu, justru kelebihan mobil itu,” terang Arvan.
Emosi manusia adalah indikator yang bisa menandakan sesuatu yang buruk, mengancam, dan lain-lain. Lantas, ketika kita merasakan emosi negatif, itulah tanda bahwa emosi kita sensitif atau bekerja sepenuhnya.
Efek Mengabaikan Emosi Negatif
Ketika emosi negatif diabaikan oleh diri sendiri, maka akan muncul dampak buruk. Di antaranya, yakni perasaan tersebut akan terus menghantui penderitanya hingga masalahnya benar-benar diselesaikan.
Begitu pula ketika kita tidak cukup empati ketika orang lain sedang mengalami masalah. Jika terburu-buru memaksa seseorang yang kecewa untuk tetap berpikir positif, misalnya, orang tersebut justru akan menjadi tertutup untuk mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.
Lebih buruknya, tindakan itu bisa membuat orang tersebut merasa bahwa kebahagiaan adalah satu-satunya jalan yang perlu ditempuh agar terjauhi dari luka yang ia rasakan.
Tak menutup kemungkinan, ia juga akan bepikir bahwa ialah penyebab utama dari persoalan yang ia hadapi, terlepas hal tersebut benar atau tidak.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan ketika menghadapi emosi negatif?
Baca Juga: Ketika Produktif Jadi Toxic Productivity, Kok Bisa?
Terimalah perasaan tersebut dengan mengingat bahwa semua emosi yang dirasakan adalah valid. Lalu, cobalah untuk sepenuhnya sadar dan memahami betul kejadian yang sedang dialami.
Temui orang lain yang bisa dipercaya untuk mendengarkan cerita Anda. Apabila belum menemukan sosok yang tepat, kegiatan seperti menulis di buku atau jurnal pribadi dapat menjadi alternatifnya.
Pada intinya, pengakuan terhadap emosi dalam diri kita sangatlah penting. Dengan menerimanya, kita akan fokus pada upaya-upaya untuk bangkit dari emosi tersebut.
“Ketika emosi kita tinggi, dan kita kehilangan fokus kita, dan kita merasa terlalu capek untuk berdoa... Ketika kamu merasa sedang down, gitu, dan merasa malu... It's okay, not to be okay,” sebut Arvan.
Tertarik dengan bahasan mengenai toxic positivity? Siniar (podcast) Smart Inspiration membahas topik ini dalam episode yang berjudul “Pentingnya Mengungkapkan “Tidak Baik-Baik Saja””. Dengarkan selengkapnya di Spotify dengan cara menekan ikon di bawah!
Baca Juga: 3 Zodiak yang Suka Sok Asik dan Selalu Kepo dengan Urusan Orang Lain