Medan, Sonora.ID - Pada pagelaran Seminar yang bertajuk "Building a Resilient Sustainable Finance", Jumat (18/2). Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti menjelaskan, perubahan iklim yang disebabkan oleh kenaikan emisi karbon akan berpotensi mengganggu stabilitas moneter dan sistem keuangan.
Maka dari itu, pemanasan global akibat emisi rumah kaca ini menjadi perhatian yang signifikan karena mengarah pada ancaman, seperti cuaca ekstrim, krisis air bersih, kebakaran hutan dan gangguan lingkungan yang mengkhawatirkan dan lebih berpotensi mengganggu stabilitas moneter dan sistem keuangan.
Destry menuturkan, masalah perubahan iklim ini harus secara seksama diatasi.
Mengingat, berdasarkan perhitungan ahli biaya penanganan akibat perubahan iklim diperkirakan lebih tinggi daripada biaya penanganan krisis global.
"Biaya penanganan masalah cuaca ekstrim yang telah mencapai US$ 5,1 triliun dalam 20 tahun terakhir dan lebih tinggi dari biaya penanganan krisis global tahun 2008," ujarnya dalam Seminar "Building a Resilient Sustainable Finance", Jumat (18/2).
Sejumlah analis juga menyebut jika tidak ada penanganan perubahan iklim, maka suhu bumi diproyeksi akan naik sekitar 3,2° celcius, bahkan akan berimbas pada ekonomi dunia akan kehilangan 80%.
Baca Juga: Bank Indonesia Gelar Ekspedisi Rupiah Berdaulat 2022
Akan tetapi, jika komitmen Paris Agreement dijalankan oleh seluruh negara, maka akan meminimalisir kenaikan temperatur global.
Destry mengatakan, jika Perjanjian Paris dicapai dengan suhu tambahan maksimum di bawah 2° celcius, maka PDB global hanya akan hilang 4%.
Sementara itu, Di tengah ketidakpastian global saat ini dan kebutuhan untuk meningkatkan resiliensi perekonomian, G20 menegaskan kembali komitmen untuk memperkuat ketahanan keuangan jangka panjang.
Untuk itu G20 mendiskusikan upaya meningkatkan aliran modal asing yang berkelanjutan dan mendorong kaji ulang pandangan institusional Dana Moneter Internasional mengenai liberalisasi dan pengelolaan arus modal jangka pendek untuk memitigasi risikonya.
Sejalan dengan hal tersebut, pandemi COVID-19 juga telah berdampak pada terganggunya rantai pasok perdagangan dan pembiayaan internasional.
Untuk mengatasi hal tersebut, Presidensi G20 Indonesia akan mendiskusikan penggunaan multi-currency dalam perdagangan dan pembiayaan secara berimbang, dengan memperhatikan manfaat dan biayanya.
Selain itu, G20 juga berkomitmen untuk memperkuat jaring pengaman keuangan global (Global Financial Safety Net) untuk dapat membantu negara dalam menghadapi gejolak perekonomian global.
Baca Juga: Tingkatkan Produktivitas Pertanian, Bank Indonesia Kalbar Beri Bantuan ke Poktan JAS-B Singkawang