Jakarta, Sonora.Id - Presiden Rusia Vladimir Putin secara resmi memerintahkan untuk melancarkan invasi skala penuh ke Ukraina pada Kamis, (24/2/22) lalu, yang telah menewaskan ratuasan orang, dan memaksa ribu orang meninggalkan Ukraina dalam kurun waktu 48 jam.
Pengamat Komunikasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sahid, DR. Algooth Putranto optimistis krisis Rusia-Ukraina segera selesai seiring adanya upaya pembicaraan dari kedua belah pihak asalkan Amerika dan negara-negara NATO tidak ikutan campur tangan dalam krisis dua negara di Eropa Timur itu.
“Kalau melihat tensi krisis kedua negara, meski terjadi konflik bersenjata, tensinya cenderung datar. Amerika dan negara-negara NATO sikapnya tidak solid. Peluang konflik selesai lebih cepat justru terbuka dengan adanya pembicaraan di Belarusia,” kata Algooth kepada Redaksi Radio Sonora, Minggu (27/2).
Baca Juga: Pemerintah Indonesia Pastikan 153 WNI di Ukraina Aman
Baca Juga: Prihatin Atas Invasi ke Ukraina, Paus Fransiskus Datangi Kedutaan Besar Rusia
Seperti diketahui, hari ini (Minggu, 27/2) delegasi Rusia sampai di kota Gomel, Belarusia. Kehadiran delegasi Rusia tersebut sekaligus jawaban bagi Presiden Ukraina Volodymyr Oleksandrovych Zelensky yang membuka kemungkinan untuk berunding di tempat netral.
“Kita wajib mengapresiasi gerak cepat Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko menjadi mediator krisis Rusia-Ukraina. Dia lebih cepat daripada menunggu keputusan Presiden Turki (Recep Tayyip Erdogan) dan Azerbaijan (Ilham Aliyev),” lanjutnya.
Yang menjadi pertanyaan, lanjutnya, pertama, kerelaan Presiden Ukraina Vladimir Zelensky untuk berunding. Kedua, Amerika dan negara-negara NATO menahan diri untuk tidak turut campur dalam perundingan Rusia-Ukraina tersebut.
Sekadar catatan, sebelum krisis Rusia-Ukraina, Amerika Serikat dan negara-negara NATO sibuk memprovokasi Rusia sampai diingatkan China di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
“Negara-negara Barat mengancam ini itu, pada kenyataannya mereka ya impor banyak bahan baku nuklir dan senjata dari Rusia," tambah Algooth.
Tahun lalu, harian bisnis Rusia RBK merilis laporan tentang ekspor rahasia Rusia ke Amerika meningkat 83 persen dari US$706 juta menjadi US$841 juta. Sebagian besar barang yang diekspor terdiri dari unsur-unsur kimia radioaktif dan isotop radioaktif, termasuk uranium yang diperkaya untuk PLTN. Selain itu, Rusia juga memasok senjata api sipil dan amunisi untuk Amerika.
Tidak saja ke Amerika Serikat, Jerman dan Ceko juga mengimpor komoditas serupa. Jerman mengimpor produk kimia anorganik dan unsur-unsur radioakti dan isotop yang nilainya mencapai US$ 302 juta atau naik 57,2 persen dari US$173 juta. Sementara Ceko memborong pesawat dan suku cadangnya, juga beragam senjata dan amunisi. Nilainya mencapai US$706 juta atau naik 700 persen dari sebelumnya hanya US$102 juta.
“Ini belum soal impor energi dari Rusia ke negara-negara Eropa, jumlahnya tetap besar karena proyek Amerika dan NATO untuk meruntuhkan Suriah gagal total. Jadi, ada ketergantungan besar pada negara-negara yang ribut terhadap Rusia. Amerika itu ibarat mantan pejabat yang post power syndrome,” tutupnya.
Sementara itu Presiden Republik Indonesia Joko Widodo juga angkat suara soal perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Dengan tegas, Jokowi menyatakan sikapnya soal ketegangan dua negara yang menghebohkan dunia.
"Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia," ujar Presiden Jokowi, Kamis, (24/2/22)