Seperti tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, kepala desa/lurah, PKK, Karang Taruna, LSM, pendidik, pelajar, dan bahkan sektor swasta, dan memiliki 2.712 agen perubahan yang terlibat.
Pada aspek pendataan dan pelayanannya, KemenPPPA telah memiliki Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA 129) yang merupakan layanan pengaduan, berupa call center 24 jam.
SAPA 129 memberikan akses bagi seluruh rakyat Indonesia untuk melaporkan langsung kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditemui atau dialami sendiri.
Laporan tersebut dapat melalui telpon 129 atau whatsapp di 0811-129-129, dan sudah terintegrasi dengan SIMFONI PPA, yang merupakan sistem informasi online untuk perempuan dan anak.
Baca Juga: Ini Alasan Masyarakat Indonesia Diimbau Tolak Tawaran Jadi ART di Turki
KemenPPPA juga melakukan kerja sama dengan instansi terkait sebagai upaya perlindungan PMI, serta perlindungan dari TPPO.
“Kami bekerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan, melalui Program Bina Keluarga Pekerja Migran Indonesia (BK–PMI), sebagai upaya untuk meningkatkan kemandirian ekonomi PMI dan keluarga, meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga PMI, dan menjamin hak – hak anak keluarga PMI. Kami juga bekerja sama dengan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi dan Kementerian Dalam Negeri melalui program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA), sehingga program – program kami juga akan sampai pada tingkat desa,” ungkap Pribudiarta.
Pada kesempatan ini, turut hadir sejumlah K/L yang berada dalam naungan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) untuk menyampaikan laporan.
Serta rekomendasi kebijakan terkait Perlindungan PMI dan Pencegahan serta Penanganan TPPO, sesuai tugas dan fungsi masing – masing K/L.
Muhadjir Effendy, Menko PMK, menyampaikan bahwa sesuai arahan Presiden, melindungi pekerja migran harus menjadi acuan dalam pelaksanaan perlindungan PMI.
Mulai dari penghentian perdagangan orang, perlindungan menyeluruh, pra keberangkatan, masa bekerja, dan kembali ke tanah air, serta mengoptimalkan peran TNI/Polri, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, dan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait lainnya.
“Perlu dilengkapi landasan hukum perlindungan PMI, dan pemberantasan TPPO. K/L terkait hendaknya ikut membantu pelegalan PMI yang akan bekerja, termasuk aspek kerjasama bilateral, human trafficking, dan sebagainya. Pendataan PMI harus ditingkatkan baik PMI yang resmi maupun PMI Bermasalah (PMIB). Penyelesaian masalah PMI ini harus dimulai dari hulu termasuk program yang akan dibuat bagian dari siklus pembangunan manusia dan kebudayaan,” ujar Muhadjir.
Muhadjir juga menegaskan untuk memperhatikan implementasi sanksi atau hukuman kepada para penyalur tenaga kerja, yang memberangkatkan PMI secara ilegal.
Kemudian, perlu dilakukan penguatan pada setiap lini prosesnya, mulai dari pendaftaran, proses rekrutmen, hingga pemberangkatan, termasuk pendataan dan keamanannya di perbatasan.
“Semoga nanti untuk pertemuan berikutnya, semuanya sudah relatif rapi, dan dapat segera diformulasikan menjadi langkah – langkah yang lebih konkrit,” tutup Muhadjir.