Sonora.ID - Pandemi membuat kita memiliki lebih banyak waktu di rumah. Kesempatan ini lantas kita manfaatkan untuk melakukan hal-hal produktif yang sulit dilakukan sebelumnya, seperti mencoba hobi baru, menghadiri banyak rapat sekaligus, atau mengikuti kursus online.
Jika dilakukan secara bijak, produktivitas tersebut akan berdampak positif bagi perkembangan diri kita. Namun, apabila dilakukan secara terus-menerus bahkan keterlaluan, kita berisiko terjebak dengan fenomena toxic productivity atau produktivitas yang toksik.
Melalui siniar (podcast) Anyaman Jiwa episode “Kenali Toxic Productivity, Obsesi Berlebihan untuk Produktif”, Dra. Astrid Regina Sapiie, seorang psikolog klinis, akan membantu kita untuk mengenali tanda-tanda toxic productivity sehingga dampak buruk dari kecenderungan toksik ini dapat dicegah.
Baca Juga: Ketika Produktif Jadi Toxic Productivity, Kok Bisa?
Pertama-tama, Astrid memaparkan bahwa orang yang mengalami toxic productivity cenderung terus-menerus berusaha untuk produktif, bahkan sampai mengorbankan dirinya sendiri. “Padahal, manusia harusnya seimbang,” tutur Astrid.
Astrid kemudian mengungkapkan salah satu faktor seseorang mengalami fenomena ini, yaitu keinginan yang memaksa untuk mengikuti suatu standar produktivitas tertentu. “Dia merasa (dengan) mengikuti tuntutan dari standar produktivitas itu, maka ia menjadi orang yang produktif dan hebat,” tambahnya.
“Mungkin kerjanya bagus, tetapi dia merusak dirinya sendiri,” ujar Astrid.
Tanda-tanda Toxic Productivity
Lebih lanjut, Astrid menyebutkan tanda-tanda seseorang mengalami toxic productivity. Pertama, komplain dari orang terdekat, misalnya dari anak atau pasangan. “Dengan adanya komplain begitu, maka sudah alarm. Kita terlalu banyak memberikan perhatian kepada pekerjaan kita,” jelasnya.
Kedua, muncul peringatan dari tubuh, seperti pusing kepala dan beberapa bagian tubuh yang sakit untuk digerakkan. Tak ayal, menurut Astrid, tanda fisik ini datang akibat dari toxic productivity yang memaksa seseorang untuk terus bekerja hingga mengesampingkan pola tidur dan makan.
“Apa sih yang dikejar ketika duitnya dapet, tetapi malah dipake untuk ke rumah sakit?” tegas Astrid.
Menghentikan Toxic Productivity
Sebelum memberikan tips lebih jauh untuk berhenti memaksakan diri melakukan toxic productivity, Astrid terlebih dahulu mengingatkan kita bahwa manusia memerlukan keseimbangan dalam hidup.
“Manusia yang baik adalah yang memelihara keseimbangannya, (dimulai dari) keseimbangan biologis, psikologis, sosial, kemudian spiritualnya,” ucap psikolog klinis tersebut.
Ketika seluruh keseimbangan tersebut telah tercapai, seseorang akhirnya bisa memperoleh pengetahuan tentang apa yang sebenarnya ia cari sehingga tuntutan untuk mengikuti suatu standar produktivitas tertentu dapat ditekan.
Kemudian, Astrid memberikan tips untuk menghentikan sifat obsesi untuk bekerja ini. “Yang bisa dilakukan hanya satu, yaitu bagaimana kita bisa mengendalikan diri untuk menjadi manusia sehat,” tambahnya.
Potongan tips-tips memahami toxic productivity di atas dapat kamu dengar lebih lengkap melalui podcast Anyaman Jiwa berjudul “Kenali Toxic Productivity, Obsesi Berlebihan untuk Produktif”.
Selain itu, bagi kamu yang ingin mengetahui tips-tips dan perspektif tentang kesehatan mental lainnya, dengarkan podcast Anyaman Jiwa setiap hari Rabu dan Jumat di Spotify atau akses melalui tautan berikut https://dik.si/aj_toxprod.
Baca Juga: Toxic Productivity: Tren Berbahaya yang Sebabkan Masalah Mental