Sebuah database publikasi ilmiah menghasilkan lebih dari 6.600 halaman dari hasil pencarian kata "love" secara daring hingga 2018.
Meskipun kata cinta merujuk pada perasaan atau kata sifat, namun cinta sering digambarkan sebagai penyakit, seperti mabuk cinta.
Richard Schwartz, profesor psikiatri di Harvard Medical School (HMS), mengatakan tidak pernah terbukti bahwa cinta membuat seseorangan dapat sakit secara fisik.
Namun, cinta bisa meningkatkan kadar kortisol dan hormon stres yang telah terbukti menekan fungsi kekebalan tubuh.
Cinta juga mengaktifkan neurotransmitter dopamine atau yang lebih dikenal pusat kesenangan otak.
Hal ini menunjukkan bahwa memiliki perasaan cinta terhadap kekasih dapat membuat seseorang bahagia.
Namun, berada dalam suatu hubungan tentu harus siap dengan risiko naik turunnya perasaan ini karena berbagai faktor.
Sejalan dengan pendapat Schwartz yang mengatakan, seperti bulan, cinta memiliki fase-fasenya tersendiri.
“Ini cukup kompleks, dan kami (para peneliti) hanya tahu sedikit tentangnya,” ujar Schwartz.
“Ada fase dan suasana cinta yang berbeda. Misalnya fase awal cinta sangat berbeda dari fase selanjutnya,” sambungnya.
Dalam siniar Smart Inspiration bagian Smart Happiness, Arvan Pradiansyah mengungkapkan bahwa cinta itu sebenarnya menunggu, tetapi manusialah yang mencarinya. Pembahasan ini terdapat dalam episode “Cinta yang Menunggu, Manusia yang Mencari”.