Sonora.ID - Menjadi seorang jurnalis merupakan impian beberapa orang karena bisa berinteraksi dengan para figur publik dan para pejabat.
Selain itu, para jurnalis juga memiliki hak istimewa yang diatur dalam Undang-undang Pers.
Memiliki hak istimewa tak semata-mata membuat jurnalis lupa diri. Di baliknya, tetap ada tantangan dalam berprofesi yang harus dihadapi.
Bahkan, Aiman Witjaksono, jurnalis ternama Kompas, dalam siniarnya bertajuk "Hak Istimewa Menjadi Jurnalis" mengungkapkan, "Hak istimewa bukan mendapatkan kemudahan di luar pekerjaan. Itu jatuhnya dalam tanda kutip jadi gratifikasi."
Pengaturan Hak Istimewa Jurnalis
Menurut Aiman, ada tiga hak istimewa yang bisa diperoleh para jurnalis. Ketiganya diatur dalam Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Pertama adalah hak jawab yang merupakan keputusan seorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Baca Juga: Jaga Kesehatan Tubuh di Tengah Padatnya Aktivitas ala Aiman Witjaksono
Kedua ada hak koreksi, yaitu hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya atau orang lain.
Menurut Aiman, hak koreksi memiliki arti penting, "Dan ini merupakan egalitarian atau kesamaan posisi dalam demokrasi yang berlaku dalam dunia jurnalistik."
Sebagai manusia, para jurnalis juga belum tentu benar. Jadi, kalau ada yang kekeliruan dalam suatu pemberitaan, masyarakat boleh menggunakan hak ini.
Terakhir adalah hak tolak yang merupakan hak khusus milik wartawan.
Hak ini dimiliki mereka karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya sebagai sumber berita.
Tujuan dari hak ini adalah untuk merahasiakan sumber dan narasumber.
Menurut Aiman, hak ini sering kali digunakan dalam jurnalisme investigasi karena banyak narasumber yang harus dirahasiakan.
Ia pun memberikan contoh suatu kasus yang pernah ditangani. Pada 2015, ia meliput kasus mafia bola dan mewawancarai pihak PSSI.
Saat itu, ternyata pihak PSSI bertanya perihal siapa narasumbernya.
Baca Juga: Resolusi Keuangan dan Investasi, Cara Cuan Menyambut Tahun Baru
Akan tetapi, Aiman memilih untuk bungkam agar identitasnya tetap terjaga.
Alur Kerja yang Wajib Dilakukan Jurnalis
Saat meliput kasus ini, Aiman mengaku selalu melakukan riset dan mengecek kembali segala hal yang dituturkan narasumber.
Ia selalu melakukan riset terhadap kasus yang akan diteliti. Setelah itu, lelaki ini juga melakukan pengecekan kembali terkait benarkah fakta yang terjadi di lapangan.
"Kalau memang benar, dua hal itu ada yang klop. Dua hal itu adalah hal yang sesuai. Nah, baru itu kita sampaikan."
Sebagai jurnalis, kita tak boleh percaya begitu saja dengan informasi yang dituturkan narasumber. Hal ini disebabkan karena informasi tersebut bisa jadi tidak valid.
"Jadi, proses check recheck ini harus dilakukan. Jangan sekedar "katanya katanya" meskipun dia adalah narasumber yang dianggap dari hasil riset sementara."
Represi dalam Jurnalisme
Tak hanya itu, Aiman juga mengungkapkan bahwa hak istimewa lain yang diperoleh jurnalis adalah kebal akan represi.
Hal ini juga dituliskan dalam Pasal 4 UU Pers.
Pasal ini berbunyi, "Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran."
Baca Juga: Ternyata Inilah Pentingnya Punya Role Model dalam Hidup Kita
Bukan tanpa manfaat, represi terhadap jurnalis dilarang agar menjamin kemerdekaan pers.
Pers sendiri memiliki hak untuk mencari, memperoleh, serta menyebarkan gagasan dan informasi. Jadi, jika pasal itu dilanggar, akan ada hukuman.
Hal tersebut tertuang dalam Pasal 18 yang mengungkapkan bahwa pihak yang melakukan represi bisa dipidana dengan hukuman penjara paling lambat empat tahun dan denda sebesar Rp500 juta.
Dengarkan lebih lanjut seputar kisah hidup Aiman dan perjalannya sebagai seorang jurnalis, eksklusif, hanya dalam siniar Aiman Witjaksono di Spotify.
Ikuti juga siniarnya agar kalian selalu terinfo tiap ada episode terbaru!