Semarang, Sonora.ID - Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) mana yang memiliki potensi prospek kerja paling besar?
Sebagai calon mahasiswa atau lulusan baru, seringkali kita menghadapi keraguan tentang kualifikasi masuk universitas yang diinginkan.
Perbandingan sistem PTS dan PTN, kerap kali mewarnai kultur pendidikan tinggi di Indonesia yang berdaya saing global.
Salah satunya yaitu pemeringkatan instansi atau lembaga pendidikan yang tentunya dapat memberikan dampak positif berupa cambuk untuk meningkatkan kualitas kampus.
Di sisi lain, kerangka ini menimbulkan dilema di Indonesia.
Baca Juga: Kebijakan Akreditasi Berbayar, Kampus Islam Swasta Terancam Gulung Tikar
Dengan nilai, filosofi, dan tujuan yang berbeda, peringkat dapat membatasi dan mengaburkan arti sebenarnya dari kualitas kampus yang sesungguhnya.
Sebagai contoh, kita sering mendengar dan membaca tentang kampus-kampus yang saling berebut klaim keberhasilan dalam pemeringkatan.
Institusi pendidikan lebih fokus pada pencapaian standar universitas kelas dunia, daripada berkontribusi pada beasiswa atau melayani masyarakat dengan berbagai cara.
Di artikel ini, kami akan menjelaskan mengapa ada begitu banyak masalah dengan mentalitas ini.
Kami juga memberikan pandangan yang tentang kualitas pendidikan tinggi.
Baca Juga: Raih Predikat Terakreditasi Penuh, BBPPKS Banjarmasin Diminta Tingkatkan Inovasi
Imperialisme Budaya
Imperialisme Budaya sendiri merupakan teori yang membahas mengenai negara dunia pertama(core nation) yang mempengaruhi budaya di seluruh dunia karena adanya kesenjangan informasi.
Herbert Schiller dan para koleganya mendeskripsikan imperialisme budaya sebagai kontrol dan kepemilikan industri komunikasi internasional oleh negara dunia pertama yang mempengaruhi budaya negara dunia ketiga (McPhail, 2014, h.40).
Sejumlah riset pun menunjukkan bahwa metode pemeringkatan universitas memiliki masalah bias.
Misalnya, banyak sistem pemeringkatan menyukai kampus-kampus yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengajaran mereka karena bahasa Inggris dianggap sebagai "bahasa sains dunia".
Sayangnya, tidak banyak universitas yang mau mengkaji praktik klasifikasi kampus.
Pemeringkatan masih dicari atas nama kualitas, terlepas dari metodologi dan filosofi yang mendasarinya.
Fenomena ini disebut oleh peneliti sosial Marion L. dan Imanol Ordorika sebagai imperialisme budaya.
Imperialisme budaya adalah standar yang sebenarnya dikembangkan dari konteks budaya tertentu (Barat) sebenarnya disajikan, dilihat dan diterapkan sebagai standar universal.
Pemalsuan Data
Alih-alih mempromosikan peningkatan kualitas, kampus yang gagal menanggapi hasil peringkat sebenarnya, melakukan manipulasi data untuk sekadar mencapai peringkat lebih tinggi.
Salah satu caranya adalah dengan pemalsuan data akreditasi.
Selain itu, masalah etika lainnya juga muncul, antara lain penyajian hasil pemeringkatan yang sering dijadikan bahan promosi perguruan tinggi.
Pernyataan promosi yang ditampilkan perguruan tinggi dapat menimbulkan persepsi yang bias tentang kampus tersebut, yang menyimpang dari keadaan sebenarnya.
Faktanya, banyak penelitian menunjukkan bahwa mendapatkan peringkat universitas tidak terlalu berdampak signifikan pada calon mahasiswa.
Begitupun untuk memenuhi Indikator Kinerja Utama (IKU) Kampus Merdeka, dosen juga dituntut melakukan kegiatan di luar kampus yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan mendapat pengakuan internasional.
Beban ganda yang demikian membuat sebagian dosen memilih jalan yang instan, seperti menumpang nama dalam artikel riset mahasiswa atau bahkan terjebak jurnal predator (jurnal abal-abal) yang dirancang untuk mengelabui dan menimbulkan kerugian yang luar biasa.
Lantas, bagaimana cara kita menyikapi hal tersebut supaya tidak terjebak dan mengalami dilema terhadap semuah instansi/lembaga pendidikan?
Diperlukan langkah kolektif agar perguruan tinggi Indonesia terhindar dari praktik imperialisme budaya yang menjebak mereka dalam perlombaan kosong. Kualifikasi perlu disikapi dengan kesadaran.
Perguruan tinggi harus memposisikan kinerja dan pemeringkatan sebagai dampak terhadap kinerja institusional yang baik, bukan sebagai tujuan.
Selain itu, perlu tanggung jawab bersama untuk mengedukasi publik mengenai pemeringkatan.
Harapannya, masyarakat tidak sekadar disuguhi tagline “perguruan tinggi terbaik” yang tidak jarang bermakna bias dan membingungkan.
Setiap kampus di Indonesia juga harus memperkuat keahlian akademik yang bersumber dari kearifan lokal, sehingga kita tidak hanya menjadi pelanggan sistem pemeringkatan ala Barat, tetapi juga pemimpin dalam arah ilmu pengetahuan.
Memang, perguruan tinggi perlu menegaskan peran dan posisinya masing-masing dalam masyarakat.
Ini penting agar institusi tidak terobsesi dengan gelar world class university dan indeks publikasi terbaik.