Proses persalinan alami dapat terganggu karena panggul perempuan yang belum cukup usia masih sangat sempit sehingga dapat mengancam jiwa ibu dan bayi yang dilahirkan.
Melahirkan bagi remaja perempuan juga mengakibatkan mulut rahim (serviks) dan jalan lahir (perineum dan vagina) mengalami robek sehingga terjadi pendarahan.
Melahirkan pada perempuan usia remaja berpotensi menimbulkan kanker serviks. Penyakit preeklamsia atau peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba yang bisa mengakibatkan komplikasi serius, kaki bengkak, kejang saat persalinan menurut Hasto, juga banyak terjadi pada perempuan melahirkan yang usianya di bawah 20 tahun.
“Risiko kematian ibu dan bayi meningkat,” kata dia.
Kehamilan pada remaja perempuan menyebabkan proses pertumbuhan tulang terhenti. Proses terhentinya pertumbuhan tulang ini mempercepat kekeroposan tulang atau osteoporosis.
Akibat lain dari osteoporosis adalah tulang menjadi mudah patah dan punggung bungkuk.
“Ini terjadi bagi perempuan yang memasuki menoupause, usia 45 sampai 55 tahun,” jelas Hasto.
Lebih jauh Hasto menyebutkan data pernikahan dini, yakni pernikahan pada usia di bawah 18 tahun, terjadi sebanyak 20 dari 1.000 pernikahan.
“Data tahun 2021 menyebutkan setiap seribu pernikahan ada 20 yang menikah dini,” kata Hasto.
Baca Juga: Sinergi TNI Manunggal Bangun Desa ke-113 dan BKKBN Provinsi Riau dalam Misi Penurunan Stunting
Untuk itu Hasto mengatakan sangat penting memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada masyarakat secara lebih baik dan lebih terbuka.
Ia juga menegaskan pendidikan kesehatan reproduksi bukanlah pembelajaran hubungan seks.
“Pendidikan kesehatan reproduksi ini adalah pembelajaran tentang seks. Bukan pembelajaran hubungan seks,” jelas Hasto.
Pembelajaran tentang kesehatan reproduksi atau pembelajaran tentang seks itu menurut Hasto, sangat penting untuk mencegah terjadinya pernikahan dini dan mencegah risiko lahirnya bayi stunting.