Pontianak, Sonora.ID - Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat memperingati Hari Berkabung Daerah pada hari ini, Selasa 28 Juni 2022.
Peringatan ini dilakukan untuk mengenang peristiwa pembunuhan besar-besaran secara keji dan kejam oleh tentara Jepang terhadap tokoh-tokoh masyarakat, pemuka masyarakat, kaum cendikiawan dan para pejuang pada tanggal 28 Juni 1944.
Hari Berkabung Daerah dikenal juga dengan Peristiwa Mandor di masa Penjajahan Jepang. Di sana terdapat makam massal dari korban kekejaman Jepang.
Salah satu cerita dari Peristiwa Mandor yang didapatkan Sonora Pontianak adalah kakek dari Kepala Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kalbar, Windy Prihastari, yang menjadi salah satu korban dari peristiwa tersebut. Windy merupakan cucu pahlawan yang menjadi korban kekejian Jepang.
Usai melakukan ziarah di Makam Mandor, Windy menceritakan kisah itu. Raden Mas Saliman Sastroloekito, adalah kakek dari Windy. Pada saat itu, Saliman merupakan seorang cendekiawan, kepala sekolah di salah satu Sekolah Dasar (SD) di Singkawang, Provinsi Kalbar.
Saat sedang mengajar di sekolah tersebut, Saliman diculik oleh tentara Jepang. Tepatnya pada tahun 1944, yang tersisa hanya sebuah dompet dan sisir milik Saliman. Dompet dan sisir tersebut dikembalikan kepada istri Saliman (nenek Windy) setelah penculikan tersebut.
Selain sebagai cendekiawan, Saliman juga dikenal sebagai ketua salah satu partai di Singkawang. Ia juga merupakan seniman, hobi bermain biola dan sepak bola.
“Tadi ketemu sama Penulis bukunya bahwa kakek saya itu RM Saliman Sastroloekito dia adalah kepala sekolah di Singkawang, ketua salah satu partai pada saat itu. Dokumen penjemputan pun dia punya. Penulis buku ini Pak Din kita diskusi, dia lengkap punya bukunya tentang korban-korban, datanya ada,” jelas Windy, Selasa, (28/6).
Baca Juga: Peringatan Hari Berkabung Daerah, Wali Kota Pontianak Ingatkan Jaga Keutuhan Negara
Saliman memiliki 7 anak. Ibunya Windy adalah anak ke 6 dari 7 bersaudara itu. Pada saat itu ia merupakan warga pendatang yang tinggal di Singkawang. Namun, Istri Saliman (nenek Windy) adalah warga asli dari Kota Singkawang.
Rerata keluarga besar mereka adalah tenaga pendidik, atau guru. Kakek dan neneknya pada saat itu tinggal di daerah Kampung Jawa, Singkawang.
Windy menceritakan sosok kakeknya yang juga menyukai biola, dulunya Saliman memang merupakan seorang seniman. Hingga saat ini, biola tersebut masih disimpan oleh keluarganya.
“Ceritanya dia punya biola kesayangan, dia kan seniman jadi masih ada disimpan di rumah. Rumahnya kan di daerah Kampung Jawa, itu rumah kakek nenek saya,” terangnya.
Setelah tragedi tersebut, Windy bersama keluarganya yang pada saat itu masih kecil dikenalkan Makam Mandor tersebut adalah makam dari kakeknya.
“Kakek saya korban salah satunya, jadi dulu waktu kecil diajarkan sama Bapak dan Mama dikasih tahu kalau ini makam kakek tapi gak tau makam yang mana, karena makamnya masal, jadi kita diajarkan kesana ramai-ramai untuk ziarah, jadi kita berdoa di satu makam,” ungkapnya.
Setelah dua tahun kepergian kakek Saliman, istri Saliman (nenek Windy) meninggal dunia. Ia juga dikabarkan sakit usai mengetahui suaminya diculik oleh tentara Jepang karena pada saat itu 8 anaknya masih kecil.
“Dua tahun setelah (kakek Saliman) ditangkap, nenek saya meninggal. Dompet dan sisir dikembalikan sama yang nangkap, nenek saya gak berdaya karena anaknya juga masih kecil-kecil,” tukasnya.
Baca Juga: 80 Atlet Pontianak Berlaga di Popda Kalbar 2022, Wali Kota Edi Kamtono Targetkan Juara Umum